Makna & Hakikat Yakin

Makna & Hakikat Yakin

Berkata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menerangkan makna yakin: “Yakin dalam iman seperti kedudukan ruh dalam jasad, yang dengannya orang-orang yang ‘arif saling berunggul-unggulan, orang-orang berlomba-lomba padanya, orang-orang yang beramal berjalan kepadanya, dan suatu kaum beramal agar berada di atasnya, serta isyarat mereka seluruhnya kepadanya, dan apabila sabar bergandengan dengan yakin maka keduanya itu akan melahirkan kepemimpinan dalam agama.
Allah Ta’ala berfirman -dan dengan firman-Nya orang-orang yang mencari petunjuk akan mendapat petunjuk- :
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah:24)
Allah Ta’ala mengkhususkan orang-orang yang yakin dengan kemampuan mengambil manfaat terhadap ayat-ayat(Nya) dan hujjah-hujjah, Allah berfirman -dan Dialah sebenar-benar dzat yang berbicara- :
وَفِي الأَرْضِ ءَايَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (Adz-Dzaariyaat:20)
Dan Allah telah mengkhususkan orang-orang yang yakin dengan petunjuk dan kemenangan/ keberuntungan di antara seluruh alam, Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ(4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(5)
“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 4-5)
Maka yakin adalah ruhnya amalan-amalan hati yang (amalan-amalan hati tersebut) merupakan ruhnya amalan-amalan anggota badan, dan merupakan hakikatnya kejujuran/kebenaran serta pusatnya perkara ini.” (Madaarijus Saalikiin 2/397)
Oleh karena itu, yakin adalah ilmu yang tidak ada keraguan padanya dan i’tiqad/ keyakinan/ kepercayaan yang sesuai dengan kenyataan. Ada tiga tingkatan dalam yakin: ‘ilmul yaqiin, haqqul yaqiin, dan ‘ainul yaqiin. Adapun tingkatan pertama seperti pengetahuanmu bahwasanya di lembah ini terdapat air, sedangkan tingkatan kedua adalah kalau kamu sudah melihatnya dan tingkatan ketiga adalah kalau kamu sudah meminumnya.

Makna & Hakikat Tawakkal

Berkata Ibnu Rajab Al-Hambaliy menerangkan makna tawakkal: “Yaitu benarnya penyandaran hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla di dalam mendapatkan kemaslahatan-kemaslahatan dan menolak kemadharatan-kemadharatan (berbagai mara bahaya) dari perkara-perkara dunia dan akhirat seluruhnya, yang seluruh perkara diserahkan kepada-Nya, dan merupakan pembuktiannya iman bahwasanya tidak ada yang memberi, tidak ada yang mencegah, tidak ada yang memberikan madharat dan tidak ada yang memberikan manfaat kecuali Dia.
Perealisasian/pembuktian tawakkal tidaklah menafikan usaha dalam mengambil sebab-sebab yang telah Allah Ta’ala tentukan terhadap makhluk-Nya dengannya dan telah berjalan sunnah-Nya pada makhluk-Nya dengan hal itu, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk mengambil sebab-sebab bersamaan perintah-Nya untuk bertawakkal, maka usaha dalam mengambil sebab-sebab dengan anggota badan adalah ibadah kepada-Nya sedangkan tawakkal kepada-Nya dengan hati adalah keimanan kepada-Nya.” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam hal.628 – Al-Muntaqaa)
Berkata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah: “Yakin adalah temannya tawakkal, dan karena inilah ada yang menafsirkan tawakkal dengan kuatnya yakin, sedangkan yang benar adalah bahwa tawakkal adalah buahnya yakin dan hasilnya.” (Madaarijus Saalikiin 2/397-398, lihat Bahjatun Naazhiriin 1/148-149)

Hakikat Tawakkal & Contoh-contohnya

Sesungguhnya manusia apabila mengesakan Allah Ta’ala dengan tawakkal maka berarti dia bersandar kepada-Nya dalam mendapatkan apa-apa yang diinginkan dan dalam menghilangkan apa-apa yang tidak disukai, dan dia tidak bersandar kepada selain-Nya.
Sedangkan tawakkal itu sendiri adalah penyandaran kepada Allah Ta’ala dalam mendapatkan apa-apa yang diinginkan dan dalam menolak apa-apa yang tidak disukai, bersamaan adanya ketsiqahan/kepercayaan kepada-Nya dan melakukan sebab-sebab yang diperbolehkan padanya, dan inilah definisi tawakkal yang paling dekat. Sehingga mesti adanya dua perkara: yang pertama: bersandar kepada Allah dengan penyandaran yang jujur dan hakiki. Kedua: melakukan sebab-sebab yang dibolehkan padanya.
Maka barangsiapa yang menjadikan penyandarannya kepada sebab-sebab itu lebih banyak maka berkuranglah tawakkalnya kepada Allah, dan jadilah dia orang yang menodai dalam masalah pencukupan Allah (terhadap hamba-Nya), maka seakan-akan dia menjadikan sebab semata (tanpa tawakkal-pent) yaitu bersandar terhadap apa-apa yang dia condong kepadanya dari mendapatkan hal-hal yang diinginkan dan menghilangkan hal-hal yang tidak disukai.
Dan sebaliknya barangsiapa yang menjadikan penyandarannya kepada Allah tetapi melalaikan/tidak mengambil sebab-sebab, maka sungguh dia telah mencela dalam masalah hikmahnya Allah, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi segala sesuatu itu ada sebabnya, maka barangsiapa yang bersandar kepada Allah dengan penyandaran semata, maka dia adalah orang yang menodai dalam masalah hikmahnya Allah, karena sesungguhnya Allah adalah Hakim, yang mengaitkan sebab-sebab dengan akibat-akibatnya. Contohnya seperti orang yang bersandar/tawakkal kepada Allah dalam mendapatkan anak tetapi dia tidak menikah, dan contoh lainnya sangat banyak.
Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri adalah orang yang paling bertawakkal di antara orang-orang yang bertawakkal, akan tetapi bersamaan dengan itu beliau tetap mengambil sebab-sebab. Maka ketika safar beliau membawa bekal, dan ketika keluar ke Uhud (untuk perang) beliau memakai dua baju besi (HR. Abu Dawud no.2590). Dan ketika keluar untuk hijrah (ke Madinah) beliau mengambil seseorang untuk menunjukkan jalan (HR. Al-Bukhari no.2263), dan beliau tidak mengatakan: “Saya akan pergi berhijrah dan bertawakkal kepada Allah serta saya tidak akan ditemani oleh orang yang akan menunjukiku jalan.” Beliau juga berlindung dari panas dan dingin, akan tetapi semuanya itu tidaklah mengurangi tawakkalnya.
Pernah disebutkan kepada ‘Umar bahwasanya ada sekelompok manusia dari penduduk Yaman datang untuk berhaji tetapi tidak membawa bekal, maka mereka didatangkan kepada ‘Umar, lalu ‘Umar menanyai mereka, maka mereka pun menjawab: “Kami adalah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah.” Maka ‘Umar pun membantah: “Kalian bukan orang-orang yang bertawakkal, bahkan kalian adalah orang-orang yang pura-pura bertawakkal.”

Urgensinya Tawakkal

Tawakkal adalah setengah agama, dan karena inilah kita mengatakan dalam shalat kita:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Al-Faatihah:5)
Maka kita meminta kepada Allah pertolongan dengan bersandar kepada-Nya bahwasanya Dia akan menolong kita terhadap peribadahan kita kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“Maka beribadahlah kepada-Nya, dan bertawakkallah kepada-Nya.” (Huud:123)
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Hanya kepada Allah-lah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Huud:88)
Dan tidak mungkin akan terealisasi suatu ibadah kecuali dengan tawakkal, karena sesungguhnya manusia seandainya diserahkan kepada dirinya, maka ini berarti diserahkan kepada kelemahan dan ketidakberdayaan, dan dia tidak akan mampu untuk melaksanakan ibadah. Maka jika manusia itu ketika beribadah kepada Allah, dia merasakan bahwasanya dia bertawakkal kepada Allah, maka dengan itu dia akan mendapatkan pahala ibadah dan pahala tawakkal.
Akan tetapi secara umum kita mempunyai tawakkal yang lemah, sehingga kita tidak merasakan adanya tawakkal kepada Allah dan bersandar kepada-Nya ketika melaksanakan ibadah ataupun kegiatan lainnya, bahkan secara umum kita bersandar kepada sebab-sebab yang zhahir dan melupakan sesuatu di balik itu (yaitu tawakkal kepada Allah-pent), maka kita kehilangan pahala yang besar yaitu pahala tawakkal.
Sebagaimana kita tidak diberi kemudahan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan sebagaimana ini banyak terjadi, sama saja apakah kita mendapatkan penghalang-penghalang yang mengharuskan terputusnya ibadah/kegiatan yang kita lakukan ataupun penghalang-penghalang yang mengharuskan berkurangnya ibadah/kegiatan tersebut.

Pembagian Tawakkal

Tawakkal terbagi menjadi empat macam:
a. Pertama: Tawakkal ibadah dan ketundukan, yaitu ketundukan yang muthlaq kepada Dzat yang ditawakkali sehingga dia yakin bahwasanya di tangan-Nya-lah perolehan manfaat dan penolakan madharat, maka dia bersandar kepada-Nya dengan penyandaran yang sempurna, dalam keadaan dia merasakan akan butuhnya dia kepada-Nya, maka jenis tawakkal ini wajib hanya diberikan untuk Allah Ta’ala. Dan barangsiapa yang memalingkannya untuk selain Allah, maka dia musyrik, yaitu orang yang melakukan syirik akbar seperti orang-orang yang bersandar kepada orang-orang shalih dari kalangan orang-orang yang sudah mati dan orang-orang yang ghaib/tidak hadir, dan hal ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang berkeyakinan bahwa orang-orang ini (yang sudah mati dan yang ghaib) mempunyai andil yang tersembunyi dalam (pengaturan) alam, lalu dia bersandar kepada mereka dalam mendapatkan kemanfaatan-kemanfaatan dan menolak kemadharatan-kemadharatan.
b. Kedua: Tawakkal tersembunyi yaitu bersandar kepada mayit atau orang yang ghaib dalam mendapatkan manfaat atau menolak bahaya, maka ini adalah syirik akbar. Karena sesungguhnya hal ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang berkeyakinan bahwasanya mayit atau orang ghaib ini mempunyai andil yang tersembunyi dalam (pengaturan) alam dan tidak ada bedanya apakah mayit/orang ghaib itu nabi atau wali ataupun thaghut musuh Allah Ta’ala.
c. Ketiga: Tawakkal kepada orang lain dalam hal-hal yang orang tersebut punya andil padanya bersamaan adanya perasaan akan tingginya kedudukan orang yang ditawakkali dan rendahnya orang yang bertawakkal, seperti bersandar/tawakkal kepada seseorang dalam rizkinya, penghidupannya dan yang lainnya atau seperti penyandaran kebanyakan manusia kepada pekerjaannya dalam mendapatkan rizkinya, maka ini termasuk syirik ashghar karena kuatnya keterikatan hati dengannya dan kuatnya penyandaran kepadanya dan sebagian ‘ulama memasukkannya dalam syirik khafiy (yang tersembunyi).
Dan karena inilah engkau akan mendapati orang tersebut merasakan dalam dirinya bahwasanya dia bersandar kepada hal ini dengan penyandarannya orang yang membutuhkan, maka engkau akan mendapatkan dalam dirinya kecondongan kepada orang yang rizki dia ada di sisinya (melalui perantaraannya-pent), inilah yang nampak pada orang tersebut, maka dia tidak meyakini bahwasanya orang tersebut/pekerjaannya semata-mata sebagai sebab saja, bahkan dia menjadikannya di atas sebab.
Adapun jika dia bersandar kepadanya dengan meyakini bahwasanya hal itu (orang/pekerjaan) hanya sebab saja dan bahwasanya Allah-lah yang menentukan rizki atau yang lainnya melalui tangan orang tersebut maka hal ini tidak mengapa apabila orang yang dia bersandar kepadanya mempunyai usaha yang dibenarkan syari’at dalam mendapatkan rizki atau yang lainnya.
d. Keempat: Bersandar kepada seseorang dalam hal-hal yang diserahkan kepadanya suatu urusan untuk dilakukan/diselesaikan, istilah lainnya adalah al-wikaalah (mewakilkan sesuatu), maka ini boleh berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’. Contohnya: ucapan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya:
يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ
“Hai anak-anakku, pergilah kalian, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya.” (Yuusuf:87). Contoh lainnya: seperti kalau engkau mewakilkan kepada seseorang dalam masalah jual-beli sesuatu, hal ini tidak mengapa, karena sesungguhnya dia bersandar kepadanya dalam keadaan dia merasa bahwasanya kedudukan yang tinggi itu milik dia dan dia di atasnya, karena sesungguhnya dia menjadikannya sebagai wakil dari dia.
Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewakilkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib agar menyembelih sisa hewan qurbannya (di waktu haji); beliau mewakilkan Abu Hurairah untuk menjaga zakat; dan beliau juga mewakilkan ‘Urwah bin Al-Ja’d agar membeli hewan qurban untuknya.
Dari keterangan yang telah lalu maka akan jelas bahwa tawakkal itu termasuk di antara kedudukan-kedudukan yang tertinggi dan sesungguhnya wajib atas manusia agar selalu bersama tawakkal dalam seluruh perkaranya. Wallaahu A’lam.
(Lihat Al-Qaulul Mufiid 2/28-29 tahqiiq Hani Al-Hajj dan Syarh Tsalaatsatil Ushuul hal.59)
(Dikutip dari Bulletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-2 Tahun ke-3 / 03 Desember 2004 M/20 Syawwal 1425H, judul asli Hakikat Yakin dan Tawakkal. Penulis al Ustadz Abu Hamzah Yusuf. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung. Url sumber : http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=2&th=3)

Keteladanan Dalam Tawakkal

بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ:
Tawakkal adalah buahnya yakin. Semakin kuat yakinnya, semakin kuat tawakkalnya. Sehingga orang yang kuat tawakkalnya akan berani dalam menegakkan kebenaran dan dalam menanggung resikonya serta dalam menghadapi gangguan-gangguan manusia. Karena dia yakin akan firman Allah:
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS. Ar-Ruum:47)
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (Muhammad:7)
إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ
“Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (QS. Aali ‘Imraan:194)
Rasulullah dan Nabi Ibrahim adalah teladan kita dalam hal ini, di mana mereka telah menunjukkan kepada kita betapa kuat dan tingginya tawakkal mereka kepada Allah, hal ini dikisahkan dalam hadits berikut:
Dari Ibnu ‘Abbas , dia berkata: (kalimat)
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” telah diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api dan telah diucapkan (pula) oleh Nabi Muhammad ketika orang-orang berkata: “Sesungguhnya manusia (Abu Sufyan dan rombongannya) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, oleh karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka (Rasulullah dan para shahabatnya), dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Aali ‘Imraan:173) (HR. Al-Bukhariy no.4563)
Dan dalam riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas , dia berkata: “Akhir ucapan Nabi Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api adalah: “Cukuplah Allah menjadi Penolongku dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (HR. Al-Bukhariy no.4564)

Nabi Muhammad & Ibrahim adalah Khaliilullaah

Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad adalah khaliilullaah (kekasih tercinta/kesayangan Allah), berdasarkan firman Allah:
وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
“Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS. An-Nisaa`:125)
Dan sabda Nabi :
إِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِيْ خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai kesayangan-Nya sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya.” (HR. Muslim no.532 dari Jundab)
Sedangkan khaliil maknanya adalah kekasih yang mencapai puncak kecintaannya. Dan kita tidak mengetahui bahwa ada seseorang yang disifati dengan sifat ini kecuali Muhammad dan Ibrahim , maka keduanya adalah khaliil.
Tetapi, kadang-kadang kita mendengar sebagian manusia mengatakan: “Ibrahim Khaliilullaah, Muhammad Habiibullaah (kekasih/orang yang dicintai Allah) dan Musa Kaliimullaah (orang yang diajak bicara langsung oleh Allah tanpa melalui perantara).”
Orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad adalah Habiibullaah”, ucapannya ini perlu ditinjau lagi, karena sesungguhnya al-khullah (yang dimiliki Khaliil) lebih tinggi daripada al-mahabbah (yang dimiliki Habiib), maka apabila dia mengatakan: “Muhammad adalah Habiibullaah” maka ucapan ini mengandung pengurangan terhadap hak Rasulullah , karena sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu banyak, maka orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang dicintai oleh Allah, demikian juga orang-orang yang berbuat ihsan/baik dan orang-orang yang adil, semuanya dicintai oleh Allah, maka orang-orang yang dicintai Allah itu banyak.
Akan tetapi kita tidak mengetahui bahwa sifat al-khullah itu dimiliki seseorang kecuali dimiliki oleh Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim . Maka atas dasar inilah, kita katakan: “Yang benar adalah: “Ibrahim Khaliilullaah, Muhammad Khaliilullaah dan Musa Kaliimullaah.”
Walaupun sebenarnya Nabi Muhammad juga pernah diajak bicara oleh Allah tanpa perantara ketika beliau dinaikkan ke langit yang ketujuh (pada waktu isra` mi’raj).

Tawakkalnya Nabi Ibrahim ketika Dilempar ke dalam Api

Kalimat: “حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ” telah diucapkan Nabi Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api, dikarenakan beliau menyeru kaumnya agar beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi kaumnya enggan dan menolak serta terus-menerus di atas kekufuran dan kesyirikan.
Maka pada suatu hari Nabi Ibrahim mendatangi patung-patung yang disembah oleh kaumnya lalu merusaknya dan menjadikannya hancur berkeping-keping kecuali yang paling besarnya.
Maka ketika kaumnya kembali dan mendapati tuhan-tuhan mereka telah hancur, mereka pun marah dan mencari siapa orangnya yang telah melakukan hal ini. Dikatakan kepada mereka bahwa yang menghancurkan patung-patung tersebut adalah Ibrahim, maka mereka pun mencarinya lalu mendapatkannya dan bertekad untuk menyiksanya.
Lalu mereka bertanya: “Apa yang akan kita lakukan kepada Ibrahim?”
قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْا ءَالِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِيْنَ
“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kalian, jika kalian benar-benar hendak bertindak.” (QS. Al-Anbiyaa`:68)
Maka mereka pun menyalakan api yang besar sekali kemudian melemparkan Nabi Ibrahim ke dalam api tersebut. Sampai-sampai dikatakan bahwasanya karena sangat besarnya api tersebut, mereka tidak mampu berada dekat-dekat dengan api dan mereka pun melemparkan Nabi Ibrahim ke api tersebut dengan manjaniq (alat pelempar yang besar) dari tempat yang jauh.
Ketika mereka melemparkan Nabi Ibrahim, beliau mengucapkan: “حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ”, maka apa yang terjadi? Allah berfirman:
قُلْنَا يَانَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَسَلاَمًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
“Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiyaa`:69)
Yakni api tersebut menjadi dingin lawan dari panas dan menjadi keselamatan lawan dari kebinasaan. Karena sesungguhnya api itu panas, membakar dan membinasakan, maka Allah memerintahkan api tersebut agar menjadi dingin dan keselamatan baginya, maka jadilah api tersebut dingin dan menjadi keselamatan (bagi Nabi Ibrahim ).
Sebagian ahli tafsir menukilkan dari Bani Isra`il dalam kisah ini bahwasanya ketika Allah berfirman:
قُلْنَا يَانَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَسَلاَمًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
“Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.”
Maka jadilah seluruh api dunia menjadi dingin.
Akan tetapi ini tidak benar, karena sesungguhnya Allah mengarahkan pembicaraan kepada api tertentu (dalam ayat): “يَانَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا” “Hai api menjadi dinginlah.”
Sedangkan ‘ulama nahwu mengatakan: “Sesungguhnya apabila susunan suatu kalimat datang dengan bentuk seperti ini (seperti dalam ayat di atas) maka jadilah nakirah (kata yang masih umum maknanya) menjadi sesuatu yang tertentu maknanya.” yakni tidak mencakup seluruh api, bahkan khusus untuk api yang Nabi Ibrahim telah dilemparkan kepadanya saja, dan inilah yang benar sedangkan api dunia yang lainnya tetap seperti semula.
Para ‘ulama berkata: “Dan ketika Allah berfirman: “Jadilah dingin”, Allah iringi perintah ini dengan firman-Nya: “Jadilah keselamatan”, karena seandainya Allah mencukupkan dengan firman-Nya: “بَرْدًا” “(jadilah) dingin” niscaya jadilah api itu dingin hingga membinasakan Nabi Ibrahim , karena sesungguhnya segala sesuatu akan mengikuti perintah Allah .
Lihatlah kepada firman Allah :
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِيْنَ
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati.” (QS. Fushshilat:11)
Keduanya pun tunduk terhadap perintah Allah .

Tawakkalnya Nabi Muhammad

Adapun khaliil kedua yang berkata: “حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ” adalah Nabi Muhammad , demikian juga para shahabatnya (mengucapkan kalimat tersebut) ketika orang-orang berkata: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Aali ‘Imraan:173)
Kisah selengkapnya adalah ketika Abu Sufyan (ketika itu dia masih kafir) kembali dari Uhud dan ingin mendatangi Nabi dan para shahabatnya untuk menumpas mereka menurut persangkaannya, dia bertemu dengan satu kafilah, maka dia bertanya kepadanya: “Hendak pergi ke mana kalian?” Mereka menjawab: “Kami ingin pergi ke Madinah.” Maka Abu Sufyan berkata: “Sampaikan kepada Muhammad dan para shahabatnya bahwasanya kami akan kembali kepada mereka dan akan menumpas mereka.” Lalu sampailah kafilah tadi ke Madinah kemudian menyampaikan pesan tersebut kepada Rasulullah dan para shahabatnya. Maka Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya menjawab:
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
Rasulullah dan para shahabatnya pun keluar berjumlah sekitar 70 orang dengan berkendaraan, sampai ke suatu tempat yang disebut Hamraa`ul Asad, ketika mendengar hal ini Abu Sufyan pun kemudian mengurungkan niatnya dan kembali ke Makkah.
Inilah di antara pencukupan dan penjagaan Allah terhadap Rasul-Nya dan orang-orang beriman, ketika mereka bersandar dan bertawakkal kepada-Nya. Allah berfirman:
فَانْقَلَبُوْا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوْءٌ وَاتَّبَعُوْا رِضْوَانَ اللهِ وَاللهُ ذُوْ فَضْلٍ عَظِيْمٍ
“Maka mereka kembali dengan ni`mat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Aali ‘Imraan:174)

Disunnahkan Membaca: حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

Maka selayaknya bagi setiap orang yang melihat manusia berkumpul untuk berbuat jahat kepadanya atau mengadakan permusuhan dengannya, agar mengatakan:
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
Apabila dia mengucapkan kalimat ini maka Allah akan mencukupi dan menjaganya dari kejelekan mereka sebagaimana Dia telah menjaga Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad .
Maka jadikanlah kalimat ini senantiasa ada dalam hati kita apabila kita melihat manusia mengadakan permusuhan kepada kita.
Kita juga disunnahkan membaca do’a apabila takut dari kejahatan suatu kaum/seseorang, dengan mengucapkan:
اللَّهُمَّ اكْفِنِيْهِمْ بِمَا شِئْتَ
“Ya Allah, lindungilah aku dari kejahatan mereka, menurut sekehendak-Mu.” (HR. Muslim no.3005 dari Shuhaib )
Allahlah yang memberi taufiq. Wallaahu A’lam.
[Diringkas dari Syarh Riyaadhush Shaalihiin 1/290-292 penerbit Maktabah Ash-Shafaa dan Al-Qaulul Mufiid 2/32-33 tahqiiq Hani Al-Hajj, dengan beberapa perubahan dan tambahan]
Share on Google Plus

About Wawasan kita

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Comments
0 Comments
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment

Chat Room

Kamu bisa chat bareng Admin di sini dengan Messenger,
Terima kasih.

Chat on Messenger