cerita ngalah
BAB III
Jejak
Perjuangan Sang Kyai Di Bumi ”Ngalah”
A. Pendahuluan
Setelah menempuh pendidikan dari perbagai
Pesantren, Dan pada usia 22 tahun, tepatnya pada tahun 1975, beliau menikah
dengan Ny. Hj. Siti Sa’adah dari Krandon, Kerjo, Karangan, Trenggalek, yang
mana kalau ditelusuri dari garis keturunan antara keduanya, menjadi satu
saudara pada garis keturunan Nyai Salimah. Hingga
sekarang dari hasil perkawinan, beliau dikaruniahi 10 anak, diantaranya: Siti
Muthoharoh, Atik Hidayatin, Ahmad Syaikhu, Siti Faiqoh, Luluk Nadhiro, Ahmad
Faishol (alm.), Siti Khurotin, M. Bustomi (alm.), Siti Hajar dan terakhir Siti Nuronia.
Romo KH. Sholeh
Bahruddin bukan hanya sekedar ulama yang nyantri 5 – 10 tahun saja, dan bukan
pula ulama’ yang nyantri dari 3 atau 4 pesantren saja. Sejak kecil beliau sudah
bergelut dengan lingkungan Pesantren, mulai dari Pesantren ayahandanya sendiri,
Pesantren kakeknya, sampai Pesantren para ulama sepuh yang mempunyai
kharismatik tinggi di tanah Jawa pernah beliau jajaki.
Dari berbagai latar
belakang pesantren yang pernah beliau jadikan pelabuhan hati itulah, pada akhirnya
beliau ramu dalam satu ramuan mujarab di Pesantrennya sehingga akhirnya menjadi
sebuah pesantren multikultural (beragam budaya), yaitu pesantren Ngalah.
Pada tahun 1985 beliau mendirikan
lembaga pendidikan Pondok Pesantren
Ngalah. Selain beliau sebagai Pendiri dan ketua umum Yayasan Darut Taqwa
Sengonagung Purwosari Pasuruan beliau juga menjabat sebagai musytasar NU cabang
Pasuruan 2006 – 2010 M. Dalam menjalankan amanah, beliau sebagai pendiri dan
pengasuh mempunyai prinsip atau motto ngayomi
lan ngayemi terhadap sesama.
Dengan lembaga yang didirikan mulai TK sampai Universitas Yudharta beliau
mempunyai tujuan dan harapan untuk mencerdaskan bangsa dan mempertahankan nilai-nilai
Pancasila sekaligus mencetak santri yang berotak Jepang dan berhati Madinah
atau dengan bahasa Pesantrennya fiddunnya hasanah wafil akhiroti hasanah
yang bermuara pada waqina adabannar.
Untuk mendirikan Pondok Pesantren itu tidak semudah yang kita bayangkan,
seperti halnya membalikkan telapak tangan tetapi perlu adanya usaha keras dan
diikuti dengan kesabaran sekaligus perlu kepiawaian yang tinggi, apalagi
didalamnya terdapat berbagai macam atau model pendidikan yang diterapkan, mulai
model salaf sampai model kholaf, dan disamping itu juga diajarkan ilmu thoriqoh
yang menjadi pondasi keimanan dan ketauhidan seorang hamba. Hal ini menunjukkan
betapa sempurnanya ilmu yang dimiliki oleh seorang kyai yang mampu memberikan
pendidikan yang multicultural kepada semua santrinya. Dan ini membutuhkan waktu
yang cukup lama dan panjang serta butuh kesabaran untuk mengukir dan mewujudkan
semua itu.
A. Pemberian Amanah Menuju
”Ngalah”
Setelah beliau menikah pada tahun 1975 diusianya yang ke
22, beliau tidak lantas mengaktualisasikan ilmunya ditengah-tengah kehidupan
yang lebih nyata, mengasingkan diri dari dekapan kedua orang tuanya dan hijrah
untuk berjuang menyebarkan syariat Islam dipergumulan orang-orang yang masih
membutuhkan media untuk mentransfer hidayah Tuhan masuk kedalam hati sanubari
mereka, merubah kultur budaya masyarakat yang jauh dari tuntunan syariat.
Beliau yang sudah
menikah mulai berfikir akan perekonomian keluarga yang dibinahnya, bergeraklah
beliau untuk membuka usaha untuk menopang ekonomi keluarga dirumahnya, dengan
modal yang sedikit beliau mencoba keberuntungannya untuk berdagang berbagai
macam kebutuhan bangunan, dimulailah perdagangan itu dengan menyediakan batu
kapur dan sedikit kayu glugu. Namun Tuhan berkata lain dan menurunkan
ujian kepada beliau dengan diberi kesuksesan dan keberhasilan dalam usaha
beliau, sehingga dengan waktu yang cukup singkat beliau mampu mengembangkan
usahanya dan mendapatkan keuntungan yang melimpah. Pada dasarnya keuntungan dan
keberhasilan dalam berdagang selalu beliau harapkan dan itu semua tentu saja menjadi
harapan semua orang apalagi orang tua yang biasanya bahagia melihat kesuksesan
anaknya. Namun berbeda dengan beliau dan kedua orang tuanya, beliau justru
melihat semua itu merupakan ujian dari Allah SWT yang bisa membuat beliau
melupakan tanggung jawab dan kewajibannya untuk mendampingi dan membantu orang
tua beliau dalam mengajar dan mendidik para santri di pesantren ayahnya. Dengan
kesibukan beliau akan pencarian dan penerimaan karunia Tuhan itu, suatu ketika
beliau meninggalkan kewajibannya untuk mengajar dan mendidik santri ayahnya,
seketika itu beliau dipanggil oleh ayahnya dan ditegur dengan nada penuh dengan
kemarahan. Ayah beliau bertanya ”teko endi koen kok gak ngajar mangko”
beliau menjawab dengan sopan ”ndugi kilaan pak” mendengar jawaban sang
putra Mbah Kyai Bahruddin Kalam atau ayah beliau langsung memarahi beliau ”terusno....
tak obong tokomu”, sungguh tauladan yang perlu kita petik hikmahnya, dimana
kepentingan akhirat harus didahulukan dari pada kepentingan dunia, dan
kepentingan orang lain lebih diutamakan dari pada kepentingan pribadi.
Hari demi hari beliau merasa gunda mendengar perkataan
orang tuanya. Bagaimana tidak keberhasilan yang selalu diharapkan ternyata
tidak bisa membuat orang tua beliau senang melihatnya, tapi justru membuat
sedih dan marah. Itulah kesedihan beliau yang mendalam. Namun bagaimanapun juga
beliau adalah hamba Tuhan yang selalu diberi petunjuk, sehingga pada akhirnya
beliau menyadari bahwa dalam menjalani kehidupan ini tidak ada ujian dan cobaan
yang berat untuk taat kepada kedua orang tua dan kepada Tuhannya selain ujian
dan cobaan yang bersifat kenikmatan dan kesenangan. Dengan kenikamatan dan
kesenangan orang akan lupa kepada perintah Tuhan dan bisa membuat dirinya
berlaku sombong dan menghilangkan kepatuhan kepada kedua orang tuanya.
Disaat kebingungan menyelimuti alam pikiran beliau,
terbersitlah hidayah Tuhan, sehingga beliau memutuskan untuk mencari sebuah ketenangan
batin yang lebih hakiki, pergilah beliau untuk ”manjing suluk”
menuntaskan ilmu thoriqohnya pada Mbah KH. Munawir Kertosono, tepatnya pada
tahun 1984 M, setelah ”manjing suluk” selesai akhirnya beliau
mendapatkan mandataris kemursyitan sebagai guru thoriqoh Naqsyabandiyah,
Qodiriyah, kholidiyah, wal mujadadiyah.
Kesempurnaan beliau sebagai guru thoriqoh membuat hati
sang guru yaitu Mbah KH. Munawir menguji akan kesetiaan beliau sebagai seorang
murid, dipanggilah beliau oleh Mbah KH Munawir dan beliau diberi amanah yang
cukup bertentangan dengan nafsu duniawi, dimana pada saat itu perekonomian
keluarga beliau sudah mulai terbangun, tiba-tiba sang guru menyuruh beliau
untuk meninggalkan semuanya; berkatalah sang guru “Koen iku anak barep, ojo gembol uwong tuwomu, dulurmu sek
akeh, sak aken adik-adikmu kate manggon nangdi, wong tanahe bapakmu yo mek sak
munu, beliau menjawab
dospundi kale bapak? Sang guru menegur ”uwong tuwomu opo jare aku, kuwe
gelem tak toto leh” beliau menjawab ”inggih” sang guru mengatakan
”kuwe nek gelem Ngalah barokah..!!”.
beliau menjawab lagi dengan kepatuhan ”inggih”, dari situlah muncul
sebuah doa yang terucap dari sang guru ”Ngalah barokah, ...Ngalah
barokah,... Ngalah barokah”.
Tidak lama kemudian beliau minta izin pulang kerumah
ayahnya, dan Mbah KH. Munawir berpesan ”nek wes tutuk omah warahen bapakmu
kongkon mrene”. Setelah sampai dirumah beliau menceritakan kepada ayahnya
apa yang telah diperintahkan oleh sang
guru (Mbah KH. Munawir) kepadanya. Mbah KH. Bahruddin yang juga masih termasuk
keponakan dari Mbah KH. Munawir langsung pergi ke Kertosono untuk menemui
beliau, sesampainya Mbah KH. Bahruddin disana, Mbah KH. Munawir berkata kepada
beliau ”anakmu soleh ojok digembol ae, culno jarno arek iku cek ngaleh”
beliau menjawab ”inggih nderek aken”. Setelah perbincangan antara
keduanya selesai, akhirnya Mbah KH. Bahruddin pulang, dan sesampainya dirumah beliau langsung memanggil
Romo KH. Soleh Bahruddin dan memberikan sebuah wejangan akan beberapa
hal yang harus beliau lakukan dalam menjalankan perintah sang guru.
Dengan diiringi doa restu yang tulus, melepaskan anaknya
untuk pergi berjuang menyampaikan kalam Tuhan, beliau berpesan;
- Kowe yen dholek panggunan kudu ora ado lan ora jedek songko pasar
(Kamu kalau
mencari tempat jangan yang terlalu jauh dan terlalu dekat dengan pasar)
- Panggunan mau ora adoh songko dalan sepur (Stasiun)
(Tempat itu
juga tidak jauh dari stasiun)
- Panggunan mau ora adoh songko ratan
(Tempat itu juga
tidak jauh dari jalan raya)
- Panggonan mau ora adoh songko banyu.
(Tempat itu juga tidak jauh
dari sungai)
- Panggunan mau seng penduduk’e isih tipis imane
(Tempat yang penduduk atau warganya masih banyak yang
belum beriman)
- Panggonan mau durung ono bangunan masjid.
(Tempat itu masih belum ada
masjidnya)
- Lan panggonan mau kudu ono pinggir tengene dalan.
(dan tempat itu harus berada disebelah kanan jalan)
Belum kering rasa kegelisahan untuk mengawali perjuangan,
pindah dari dekapan orang tua, jauh dari keluarga yang selalu memberikan
perlindungan sesuai dengan amanah sang guru, hati dan pikiran beliau tambah
bergejolak rasa kebingungan sesaat setelah menerima pesan dari orang tuanya itu.
Dalam hati beliau bertanya-tanya kemana aku harus mencari tempat yang sesuai
dengan petunjuk sang ayah itu.
Namun dengan latar belakang ketaatan seorang anak yang
selalu berbakti kepada guru dan orang tua, beliaupun tidak pikir panjang dan
banyak komentar, dengan Bismillah dan percaya akan pertolongan Allah
yang selalu menolong hamba-Nya, perintah itupun dilaksanakan dengan meminta
restu kepada orang tuanya ”Pangestunipun”, ”iyo wes budalo tak pangestoni” hanya
doa itulah yang mengiringi beliau dalam menunaikan perintah sang guru dan orang
tuanya.
A. Langkah Kaki
Menuju Bumi “Ngalah”
Langkah kaki beliau mulai berjalan, menyusuri berbagai tempat untuk mencari
lokasi perjuangan. Namun untuk menemukan lokasi yang persis dengan isi amanah sang
ayah itu sangatlah sulit. Hari demi hari beliau lalui dengan mencari informasi
kesana kemari melangkahkan kaki sesuai dengan kata hati.
Dalam masa pencarian itu, tentunya banyak kisah pahit
yang beliau alami, karena memang mencari tempat yang sesuai dengan amanah itu
tidak semudah yang kita bayangkan, butuh sebuah perjuangan dan waktu yang cukup
panjang serta sangat melelahkan.
Bisa kita banyangkan betapa sulitnya mencari dan menemukan tempat seperti
itu, ibarat mencari sebuah permata beliau mencari permata yang ada didasar laut
dengan berbagai kreteria dan bentuknya, dan dengan peralatan yang sangat
sederhana. Sungguh hal itu sangatlah melelahkan.
Setelah beberapa waktu telah beliau lalui,
beberapa tempat sudah beliau kunjungi, kepergian beliau menyisir kota sidoarjo,
probolinggo, jember, banyuwangi, dan lain sebagainya, sudah cukup menyita waktu
dan sangat lelelahkan, namun tempat perjuanganpun tak kunjung beliau temukan,
sesekali beliau merasa lega ketika ada beberapa tempat yang beliau kunjungi
terdapat ciri-ciri yang agak sesuai dengan isi amanah, namun setelah beliau
perhatikan dengan seksama ternyata ada satu dan dua kreteria yang tidak
terdapat dalam lokasi itu, hal itu terjadi berulang kali, sehingga terkadang terbersit
pula di hati beliau rasa keputus asaan untuk mencari dan menemukan lokasi yang
persis dengan isi amanah itu, sampai pada akhirnya beliau matur (bilang) kepada ayahnya. “Pak, mboten enten tempat seng kados niku” (pak tidak ada tempat yang sesuai dengan amanat itu),
kemudian ayahnya menjawab dengan singkat, “Onok, golek ono maneh!” (ada, cari lagi). Dengan tabah dan sabar beliau jalani
lagi perintah sang ayah, dengan menyusuri berbagai daerah, mencari pijakan kaki
perjuangan, namun lagi-lagi beliau masih belum juga menemukan lokasi itu, sampai
pada akhirnya rasa keputus asaan menyelimuti hati beliau kembali, rasa gunda
dan gelisa selalu menemani beliau, rasa takutpun muncul untuk mengatakan
kegagalannya dalam mencari tempat perjuangan yang kedua kalinya kepada sang
ayah, akan tetapi apa boleh buat, kesulitan beliau pada akhirnya mendorong
keberanian untuk mengatakan yang sesungguhnya, namun lagi-lagi jawaban sang
ayah tetap sama dengan yang pertama “Onok, golek ono maneh!” (ada, cari lagi). Sungguh jawaban yang menguji sebuah
ketabahan dan kesabaran hati seseorang untuk menjalankan sebuah perjuangan.
Jawaban yang selalu sama dari sang ayah
membuat beliau bingung dan bimbang, apakah bisa mencari tempat yang sesuai
dengan amanat tersebut, termenunglah beliau dalam keadaan gunda dan gelisa, dan
di hati kecil beliau berkata; “Aku golek nangdi maneh, tempat seng koyok
ngono, padahal aku wes nangdi-nangdi sek gak nemu ae tempat seng koyok
ngono, cek sorone amanah iki”. (Aku mencari kemana lagi, padahal aku sudah
kemana-mana masih belum ketemu saja tempat seperti itu,
kok begitu berat amanah ini). Namun bagaimanapun juga beliau (Romo Kyai Sholeh)
adalah seorang anak yang selalu patuh terhadap orang tua dan guru, sehingga
bagaimanapun beratnya amanah itu, tetap beliau jalani dengan sungguh-sungguh
dan dengan keikhlasan dan ketabahan serta kesabaran hati, tidak mengenal waktu
dan lelah, beliau terus berjalan menyusuri beberapa kota dan pelosok desa, sampai
pada akhirnya beliau beranggapan bahwa hamparan pulau Jawa ini begitu sempit
untuk mencari lokasi yang sesuai dengan amanah sang ayah, dan terfikirlah
dibenak beliau untuk hijrah dan mencari lokasi di luar Jawa.
Namun keinginan beliau untuk hijrah ke luar Jawa
ternyata tidak diizinkan oleh kehendak Tuhan, sehingga beliau mencoba kembali
mengundi keberuntungan, pergi melangkahkan kaki menyisir kota Mojokerto, setelah
beberapa hari dan beberapa tempat sudah beliau kunjungi, lagi-lagi lokasi
itupun tak kunjung saja beliau jumpai.
Dengan sabar dan tabah beliau terus jalani
perintah itu, langkah kaki terus beliau ikuti sampai pada suatu ketika, disaat
rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi dan menemani perjalanan beliau, dari
situ terdoronglah beliau untuk mencari tempat berteduh, dan berhentilah beliau ke rumah salah satu santri ayahnya di Pesanggrahan
Ketidur Mojokerto yang bernama bapak Solikhin. Disitu beliau menceritakan semua
tujuan dan maksud kepergian beliau ke Mojokerto yaitu ingin mencari tempat
dengan beberapa kreteria yang sesuai dengan amanah sang ayah. Setelah mendengar
cerita beliau akhirnya pak Solikhin menunjukkan beberapa tempat lagi, di antaranya
yang terletak di Kutorejo, Bendengan, Pungging, dan Sumber Kembar Pacet.
Setelah beliau mendapatkan informasi tempat itu, keesokan harinya semuanya
beliau kunjungi, dan lagi-lagi semua tempat itu masih juga tidak cocok dan
tidak sesuai dengan isi amanah. Melihat begitu sulitnya mencari lokasi
tersebut, akhirnya pak Solikhin memberikan saran kepada beliau untuk minta petunjuk
kepada sang ayah, arah mana yang harus dilalui untuk mencari lokasi itu.
Setelah cukup lama beliau melakukan perjalanan,
beliau lantas pulang kembali dengan membawah kegagalan lagi, rasa capek
membuntuti badan beliau, beristirahatlah beliau dalam suasana penuh kegelisaan.
Keesokan harinya, sesuai dengan saran pak Solikhin, beliau mencoba memberanikan
diri untuk meminta petunjuk kepada sang ayah, arah mana yang harus beliau
tempuh dalam mencari lokasi itu. Dengan rasa kasihan melihat anaknya yang sudah
malang melintang kesana kemari menjalankan perintahnya, akhirnya sang ayah pun
memberikan sedikit petunjuk, dengan mengatakan ”melakuo ngidul” (berjalanlah kamu kearah selatan). Dari petunjuk
sang ayah itulah beliau mulai sedikit menemukan jalan terang untuk menemukan
lokasi perjuangan itu, seakan menemukan tongkat yang bisa memberikan petunjuk
jalan.
Sebagaimana petunjuk sang ayah, beliau kembali
mencari tempat perjuangan itu. Berjalanlah beliau kearah selatan dari tempat
tinggal beliau di Carat Gempol, dan mengundi keberuntungan dengan menyisir kota
Wlingi Blitar, namun lagi-lagi beliau tidak menemukan tempat yang sesuai dengan
apa yang beliau cari. Tanpa mengenal putus asa beliau terus mencari dan
mencari, langkah kaki beliau terus mengajak untuk
menyusuri setiap jalan yang bisa dilalui.
Dan pada suatu hari pencarianpun beliau
lanjutkan kembali dengan menyisir kota Malang. Setelah beberapa desa dan tempat
sudah beliau jelajahi, namun tempat yang beliau cari masih belum ditemukan, disaat
rasa kecape’an dan keringatpun mulai bercucuran, maka pencarianpun beliau
hentikan, bergegaslah beliau untuk pulang dan beristirahat mengumpulkan stamina
untuk bekal pencarian hari esok.
Namun ketika di tengah-tengah perjalanan beliau
menuju rumah, rasa kasihan Tuhan mulai diturunkan kepada hamba-Nya yang selalu
tabah dan sabar itu, dengan pertolongan serta hidayah dari Allah SWT, akhirnya langkah
kaki dan niat beliau untuk langsung pulang terhentikan di sebuah pasar yang
terletak di Purwosari. Untuk menghilangkan rasa capek, rasa dahaga dan lapar,
bersinggahlah beliau kesalah satu warung yang ada di sekitar pasar itu, memesan
secangkir kopi dan makanan di sela-sela itu terjadilah perbincangan antara
beliau dan pemilik warung itu, yang bernama Pak Mukhtar, pada awal mulanya
beliau ditanya oleh pemilik warung itu ”sangking pundi panjenengan” dari
mana anda, beliau menjawab ”sangking Carat” dari Carat, tanpa beliau
sangka dan beliau sadari ternyata pemilik warung itu mengenal ayah beliau
dengan menanyakan ”napane Kyai Bahruddin” sebelah mananya Kyai
Bahruddin, dengan menutup diri beliau menjawab ”kulo tanggine” saya tetangganya.
Perbincangan semakin panjang, sampai pada akhirnya beliau mencurahkan
keinginannya untuk mencari sebidang tanah yang
akan dijadikan tempat tinggal, dan lama-kelamaan terbongkar juga, kalau
beliau adalah putra Mbah KH. Bahruddin Kalam yang akan membuka lahan perjuangan
baru.
Malaikat mulai diturunkan oleh Tuhan
untuk menggugah hati pak Mukhtar sehingga rasa kasihanpun muncul dibenak
hatinya, dan akhirnya dia menunjukkan bahwa ada sebuah stasiun yang terletak
tidak jauh dari pasar sini (Purwosari), tepatnya di Desa Sengonoagung dan
mungkin saja disana ada sebidang tanah yang cocok (sesuai dengan apa yang
dicari) dan bisa dijadikan tempat tinggal sekaligus madrasah.
Dengan ditemani pak Khojin Ngoro
mojokerto akhirnya beliau melanjutkan kembali pencarian lokasi itu,
mengurungkan niatnya untuk langsung pulang, sekitar jam 12 siang atau pada saat
adzan dhuhur berkumandang tibalah beliau berdua di Perempatan Sengon sesuai
dengan petunjuk pak Mukhtar tadi, dan untuk melaksanakan panggilan Tuhan beliau
bersinggah dan memunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim di mushollah yang
terletak ditepi sungai.
Pada awalnya beliau sempat ragu lagi
untuk bisa menemukan lokasi perjuangan yang sesuai dengan isi amanah sang ayah,
sebab pada saat itu beliau melihat ada sebuah masjid yang berdiri kokoh disebalah
timurnya jalan raya. Namun seakan ada sebuah magnet yang memanggil beliau untuk
terus berjuang meneruskan pencarian, sehingga tanpa putus asa dan tanpa
mengenal lelah setelah selesai sholat pencarian beliau lanjutkan, berjalanlah
beliau kearah barat Sengon dengan terus memperhatikan kondisi dan lingkungan
disekitarnya, setelah bertanya ke beberapa orang beliau mulai mendapatkan
petunjuk, dan berputarlah beliau berjalan melewati sungai besar yang memisahkan
antara desa Sengon dengan dusun Kembang Kuning, tidak lama kemudian sampailah
beliau di dusun Kembang Kuning tersebut, dengan berjalan kaki beliau terus
menyusuri dusun Kembang Kuning dengan selalu menoleh kanan kiri dan
memperhatikan lingkungan disekitarnya, sampai pada akhirnya langkah kaki beliau
berdua terhentikan dirumah salah satu warga yang terletak di pojok dusun yang
bernama bapak H. Huri, dimana pada saat itu masih terdapat dua rumah saja yaitu
rumahnya Bapak H. Huri dan rumah Mbok Saminah.
Disitu beliau mulai menemukan sebuah
harapan besar, sebab pada saat itu beliau melihat ada hamparan tanah yang masih
kosong tak berpenghuni, bersinggah beliau kerumah pak H. Huri itu
untuk menanyakan apakah ada tanah yang dijual dan lain sebagainya, dari situ
beliau ditunjukkan sebidang tanah milik pak Ali, setelah perbincangan selesai,
beliau lantas bersinggah kerumah Pak Ali di dusun Kembang Kuning, dengan tujuan
menanyakan tanahnya. Setibanya beliau dirumah pak Ali dan menanyakan lahan yang
dimaksud, beliau mulai ragu lagi untuk bisa mendapatkan lahan perjuangan itu,
pasalnya tanah yang dimaksud itu mau diwaqofkan jika untuk pembangunan masjid,
hal itu mengingatkan beliau pesan sang ayah yang tidak membolehkan beliau untuk
menerima tanah waqofan sebagai tempat perjuangan selama-lamanya, dan akhirnya
beliau mengurungkan niatnya untuk bisa memiliki tanah pak Ali itu.
Karena melihat letak dusun Kembang
Kuning yang sangat strategis dan sesuai dengan isi amanah yang berjumlah tujuh
itu, sehingga tanpa putus asa beliau terus mencari lagi tanah kosong yang ada
disekitar dusun itu yang dijual dan bisa dibeli. dengan menyisir dan
mengelilingi kembali dusun Kembang Kuning, tibalah beliau dirumah Mbok Rondo
bernama Nasiyah (Mbok Yah), disitu beliau melihat ada tanah kosong yang cukup
luas dan berdekatan dengan jalan masuk desa antara Dusun Kembang Kuning dan
Dusun Pandean yang dulunya pernah dijadikan tempat pembuangan kotoran ayam.
Dengan rasa gembira dan sedikit lega beliau mencoba mendekati tanah tersebut.
Setelah tiba ditempat atau lokasi tersebut,
beliau bertemu dengan salah satu warga kembang kuning yang bernama pak Raki
yang pada saat itu sedang menyangkul sawah yang bersebelahan dengan lokasi,
dengan sapaan yang santun beliau memulai perbincangan, mulai saling sapa, dan bertanya
siapa yang mempunyai tanah ini?, dijual apa tidak? dan lain sebagainya.
Setelah perbincangan beliau berakhir
dan menemukan jawaban yang memuaskan, berpamitlah beliau kepada mereka untuk
pulang. Dan sesampainya beliau dirumah, dengan
penuh kegembiraan dan rasa optimis beliau langsung menghadap kepada ayahnya
untuk matur (berkata) kepada sang ayah; “Pak sampun wonten panggenan
ingkang dipun kersa’aken” (Pak sudah ada tempat yang diinginkan). Kemudian
sang ayah bertanya “Gek endi tempate?” (dimana tempatnya?), beliau
menjawab; “Tempate wonten ing dusun Pandean deso Sengonagung kecamatan Purwosari (tempatnya di dusun Pandean desa
Sengonagung kecamatan Purwosari), lalu sang ayah berkata; “Oh yo wes,
kapan-kapan ayo didelok” (oh ya sudah... suatu saat ayo kita lihat).
Setelah dirasa cukup beliau menjelaskan kepada sang ayah tentang kondisi dan
tata letak lokasi, beristirahatlah beliau dengan ditemani bayangan-bayangan
hari esok dalam perjuangannya menyebarkan kalam-kalam Tuhan.
Tanah atau lokasi yang sudah
diceritakan oleh sang putra, dimana lokasi tersebut mempunyai kesesuaian dengan
isi amanah yang telah diberikan, mulai tempatnya yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan pasar (pasar
purwosari), tidak jauh dari stasiun
(stasiun Sengon), juga tidak jauh dengan jalan raya, dan juga tidak jauh dari
sungai (sungai jempinang), dan penduduknya yang masih kurang mengenal syariat agama, karena
disebelah lokasi terdapat lokalisasi atau tempat berkumpulnya wanita dan
laki-laki tanpa status, serta masih belum berdirinya bangunan masjid, tempat orang
bersujud kepada Tuhan, sekaligus lokasi itu terletak disebelah kanan jalan,
baik dari arah Surabaya maupun dari arah masuk Dusun Pandean, membuat ketidak
sabaran sang ayah (Mbah KH. Bahruddin Kalam) untuk segera melihat dan membuktikan
kebenaran cerita sang anak. Beberapa hari kemudian, sang ayah (Mbah KH.
Bahruddin Kalam) mengajak sang putra (Romo KH. Soleh Bahruddin) untuk melihat
lokasi tersebut. Berangkatlah beliau berdua untuk melihat lokasinya dan setelah
melihat serta mengetahui lokasi tersebut sang ayah (Mbah KH. Bahruddin kalam)
merasa cocok dan menganggap sesuai dengan apa yang diharapkannya, berkatalah
beliau kepada sang putra; “Tempat seng koyok ngene iki seng tak karepno, iki
jenenge pancor emas, tanahe mujur ngalor miring ngetan, iki masih njalok piroae
tukuen, ojok di enyang, embuh yok opo caramu, (tempat yang seperti inilah
yang aku harapkan, ini namanya pancor emas, tanahnya mujur
(menghadap) ke utara agak miring ke timur, ini minta berapa saja harus kamu
beli, jangan ditawar, entah bagaimana caramu).
A. Babat Tanah
“Ngalah”
Setelah beliau berhasil menemukan
tempat yang diharapkan dan sudah ditunjukkan kepada sang ayah, tepatnya pada
bulan September 1984 M atau pada bulan Dhul Hijjah tahun 1404 H. Kebingungan
dan kegelisaan serta beban beliau tidak malah berkurang atau ringan tetapi
justru malah bertambah, dengan apa yang telah diucapkan oleh sang ayah, sebab
pada saat itu beliau masih belum mempunyai cukup uang untuk membeli tanah milik
Pak H. Wachid Anshori Mojo itu yang luasnya 4.740 m, sehingga dalam hati kecil
beliau berkata: “Teko endi carane aku golek duwek gawe tuku tanah iku..??”
(Dari mana aku harus mendapatkan uang untuk membeli tanah itu..??”). Pada saat
itu beliau masih mempunyai uang 2 juta rupiah dan tanah tersebut di jual dengan
harga Rp. 5.000.700 atau 1,055 permeternya.
Namun dengan tekad yang kuat pada akhirnya beliau
mencoba kembali untuk mencari karunia Tuhan yang masih tersisa, dan beliau
memberanikan diri untuk menemui dan merunding pemilik tanah tersebut, agar
supaya bisa dibeli dengan cara diangsur, namun sayangnya beliau masih belum
bisa mendapatkan persetujuan dari pemilik tanah itu. Tanpa putus asa dan sabar
serta tabah beliau terus mengatur langkah dan strategi untuk bisa mewujudkan
keinginan orang tuanya itu. Hari demi hari beliau jalani tanpa bosan untuk
datang ke dusun Kembang Kuning dan Pandean, mengenalkan diri dan bersahabat
dengan masyarakat sekitar.
Setelah cukup banyak orang yang beliau kenal
disekitar dusun itu, barulah beliau menemukan jalan terang untuk dapat membeli
tanah itu. Yaitu dengan mengenal salah satu warga Pandean yang bernama pak H.
Supa’i yang merupakan sahabat dekat pemilik tanah tersebut, dan dengan
bantuannya beliau mencoba kembali merunding pembelian tanah itu. Perundinganpun
terjadi cukup alot, sipemilk tanah berucap kepada pak H. Supa’i”aku nyelengi
tanah soro-soro yo emo nek diangsur”, (aku menabung tanah dengan susah
payah, ya gak mau kalau diangsur) pemilik tanah masih menolaknya, tetapi
setelah dijelaskan oleh pak H. Supa’i bahwa uang yang didapat dari seorang yang
berjalan dijalan Tuhan pasti akan mendapatkan keberkahan. Tanpa disadari pak H.
Supa’i berucap kepada sipemilik tanah tersebut ”duwek rong juta seng teko
gus iku bakale barokah lan isok koen gawe tuku tanah maneh seng ombone telung
hektar”, (uang dua juta yang berasal dari anak kyai itu akan membawah
keberkahan dan bisa kamu buat beli tanah lagi yang luasnya tiga hektar).
Setelah sekian lama negosiasi itu berlanjut,
akhirnya pemilik tanah tersebut membukakan pintu hatinya untuk menerima pembelian
tanahnya dengan cara diangsur dan dibayar sebagai uang muka sebesar Rp.
2.000.000. Dan atas kehendak Tuhan, akhirnya keberkahan yang tidak sengaja
diucapkan tadi menjadi sebuah kenyataan. Pak H. Wachid Anshori mendapatkan ganti
tanahnya di daerah Puntir seluas tiga hektar dengan harga dua juta. Sungguh keberkahan
beliau yang mulai ditampakkan oleh Tuhan.
Untuk meringankan beban beliau dalam membeli
tanah dan mendirikan pondok pesantren baru itu yang juga merupakan pengembangan
dari pondok pesantren Darut taqwa Carat, maka di bentuklah panitia pelaksana
yang di ketuai oleh Mbah Kyai Bahruddin Kalam Sendiri, Bendaharanya Bapak M.
Casbi, dan sekretaris pelaksana yaitu Bapak M. Sya’in.
Setelah
tanah dapat beliau beli, beliau tidak lantas menempati dan membuka lahan
perjuangan itu, namun kurang lebih selama + 3 bulan beliau hanya berkunjung
melihat lokasi seraya mengenalkan diri dengan masyarakat sekitar. Dipagi hari
beliau datang dan sore hari beliau pulang, bersilaturrohmi kerumah-rumah warga
Kembang Kuning dan Pandean menjadi langka awal beliau untuk menjaring sahabat
dalam perjuangannya nanti.
Lain hari ketika beliau tak berkunjung ke
Kembang Kuning dan Pandean, beliau dirumahnya membuat anyaman bambu dengan
dibantu oleh beberapa santri ayahnya, serta menyiapkan bekal yang akan dibawah
nanti.
Setelah
dirasa cukup masyarakat disekitar yang beliau kenal, dan bekalpun sudah
disiapkan, akhirnya sekitar bulan Desember tahun 1984 M, atau bulan robiul awal
1405 H. Dengan mengendarai Truk dan dengan ditemani empat santri ayahnya beliau
berangkat menuju lokasi dengan membawa bekal yang sederhana yaitu anyaman bambu
(gedek) serta peralatan dan sedikit bahan makanan. Keempat santri itu adalah; Moch. Asy’ari dari Jedong Ngoro
Mojokerto, Moch. Sholeh asal Kali Putih Gempol Pasuruan, Abd. Majid dari Bursik
Ngoro Mojokerto dan Imam Syafi’i dari Trenggalek.
Setelah
beliau dan kempat santri itu tiba dilokasi perjuangan, beliau langsung
mendirikan sebuah gubuk kecil persegi empat tanpa atap yang terbuat dari anyaman
bambu yang telah dibawah itu, setelah selesai, beliau dan keempat santri itu
langsung pulang ke Carat lagi.
Dua
hari sesudahnya, barulah beliau memutuskan untuk mengawali dan babat tanah
Ngalah, namun sebelum beliau berangkat, beliau mendapat pesan khusus dari sang
ayah (Mbah KH. Bahruddin),
dan isi pesan itu: “Sholeh.. pesenku mek siji ono kono, gok embong, gok
masjid, gok langgar, gok pasar dulurmu kabeh” (Soleh... pesan saya cuma
satu disana, di jalan, di masjid, di mushollah, di pasar itu semua saudaramu).
Setelah beliau mendapatkan wejangan dari sang ayah, barulah keenam santri yang
akan menemani beliau dipanggil, dan dihadapan keenam santri itu Mbah KH.
Bahruddin memberikan do’a restu akan perjalanan mereka menemani anaknya yang
hendak berjuang dijalan Allah, ”wes awakmu tak
izini lan tak ridhani melok Soleh nang Sengon”, (sudah sekarang kamu semua sudah saya izini dan saya restui untuk ikut
Soleh ke Sengon).
Berangkatlah
beliau dengan enam santri ayahnya yang merupakan cikal bakal babat tanah Ngalah
ini, dengan diiringi do’a restu, beliau dan keenam santri itu meninggalkan desa
Carat tempat kelahiran beliau, keenam santri yang mempunyai latar belakang
ketaatan itu adalah: Moch. Asy’ari
dari Jedong Ngoro Mojokerto, Moch. Sholeh asal Kali Putih Gempol Pasuruan, Abd.
Majid dari Bursik Ngoro Mojokerto, Imam Syafi’i dari Trenggalek, dan M. Tohari dari
Pecalukan Prigen Pasuruan serta yang keenam Abd. Rohim dari Jurang Pelen Gempol
Pas.
Dengan sabar dan tabah beliau menjalani kehidupan baru,
dengan disertai rasa penuh pengabdian, beliau mengawali perjuangannya. Serta dengan
berpakaian sederhana, beliau mencoba menyembunyikan jati dirinya sebagai
seseorang yang akan menjadi seorang ulama’ besar dikemudian hari. Suatu prilaku
katawadlu’an seorang sufi. Celana hitam, dan bertopi laken menjadi
kebiasan beliau setiap hari.
Malam pun mulai tiba, gelapnya cahaya mulai menutup mata,
hanya bercahayakan lampu yang berasal dari miyak tanah, suasanapun mulai menyeramkan
dengan dikelilingi rerimbunan bambu (Barongan), terlebih lagi banyaknya
ular berbisa yang sering kali muncul, terkadang membuat takut para santri.
Keesokan harinya beliau dan para santrinya mulai
beraktifias, Dengan peralatan yang sederhana beliau mulai menyangkul sawah, dan
meratakan tebing-tebing yang ada untuk dipergunakan sebagai cikal bakal tempat
kediaman dan masjid. Namun sebelum beliau membuat kediaman, langkah awal yang
beliau lakukan adalah mendirikan sebuah Masjid sebagai sarana ibadah, dan pembelajaran
serta untuk mempermudah mengajak masyarakat bermusyawarah dan berkomunikasi.
Hari-demi hari beliau jalanai hal itu bersama keenam
santrinya, dengan rasa tabah dan tawakkal. Dan tidak lama kemudian ada beberapa
warga sekitar yang mulai membantu perjuangan beliau, diantaranya yang dari
kalangan tua adalah Pak Raki, Pak Karjin, Pak Mi, dan lain sebagainya, dan dari
kalangan pemuda adalah Khoiron, Basori, dan lain sebagainya. Hal itu beliau jalani selama kurang lebih 3 bulan
lamanya. Dengan demikian susah dan sedih sudah menjadi makanan sehari-hari bagi
beliau dan para santrinya.
Sebelum masjid dapat didirikan, beliau dan para santrinya
selalu melaksanakan sholat di beberapa mushollah yang ada disekitar, namun yang
sering beliau jadikan tempat sholat dan
tempat mengajar para santri adalah di mushollah bapak H. Huri. Sedangkan untuk tidur
para santri di tempatkan di rumah salah satu warga Kembang Kuning yang bernama
Mbok Nasiyah.
Setelah beberapa tebing sudah berhasil beliau rakatan
bersama para santri dan beberapa warga yang turut membantu, barulah beliau mengajak
untuk mendirikan sebuah masjid, namun kondisi keuangan yang ada membuat
kebingungan sebagian orang untuk mengawali mewujudkan semua itu. Namun karena
adanya tekad yang kuat dari beliau
pada akhirnya ada saja jalan keluarnya, dengan telaten beliau dan para santri mencari
batu sendiri dari sungai dan kemudian dikumpulkan, beberapa hari kemudian batupun
terkumpul cukup banyak dan bisa digunakan untuk mengawali pembangunan masjid
itu.
Selanjutnya untuk mencari orang yang
mengerti tentang masalah bangunan, beliau diajak oleh salah seorang warga
Kembang Kuning yang bernama Pak Raki untuk berkunjung ke rumah salah seorang
warga Pandean yang bernama bapak Bari, dan akhirnya beliau menunjuk pak Bari
sebagai kepala tukang dalam pembangunan tersebut. Namun dalam perbincangan
beliau dengan pak Bari beliau menceritakan kondisi keuangan yang jauh dari kata
ada. Dengan tutur bahasa yang halus beliau mengatakan keinginannya untuk
mendirikan sebuah Masjid yang hanya terbuat dari anyaman bambu saja, yang penting bisa ditempati untuk sholat dan
lain sebagainya.
Seiring dengan pergantian waktu,
masyarakat sekitarpun mulai banyak yang mendengar akan keberadaan beliau dan
tujuan beliau yang ingin mendirikan sebuah masjid sebagai
tempat ibadah dan melaksanakan sholat jum’ah, sontak masyarakat sekitar mulai
banyak berdatangan dan membantu beliau, dengan senang hati dan rasa gembira masyarakat pandean, purwo, dan kembang
kuning membantu kyai dalam mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, sebab pada
saat itu tidak ada bangunan masjid yang berdiri di sekitar desa tersebut,
sehingga untuk melakukan ibadah sholat jum’ah masyarakat harus rela berjalan
kaki + 2 kilo m, tepatnya di desa Sengonagung. Hal inilah yang membuat
masyarakat selalu aktif dan loyal membatu perkembangan pembangunan masjid dan
Pondok Pesantren, bahkan hingga kini keikut sertaan masyarakat dalam perkembangan
Pondok Pesantren tidak dapat dielakkan.
Setelah bahan-bahan dan bantuan dari masyarakat terkumpul
barulah pembangunan itu dimulai. Bangunan masjid yang terbuat dari gedek
(anyaman bambu) itu dibangun dengan ukuran seluas + 15 m2 dan berpondasi
batu kali. Pada saat pembangunan dihadiri oleh mbah
kyai Bahruddin, mbah kyai Munawir, serta koramil, dan untuk peletakan batu
pertama dilakukan oleh mbah kyai Bahruddin baru kemudian peletakan batu kedua dilakukan
oleh perwakilan dari koramil. Dengan izin Alloh SWT kurang lebih 17 hari masjid yang terbuat dari bambu itu dapat dirampungkan dengan baik.
Dan akhirnya berdirilah masjid yang diberi nama masjid Darut Taqwa II dan resmi
ditempati pada hari Jum’at wage tanggal 14 dhul-hijjah 1405 H atau tepatnya tanggal
30 agustus 1985 M. Hari Jum’at itu adalah hari yang sangat bersejarah dimana
hari itu merupakan hari pelaksanaan sholat Jum’at yang pertama kalinya di dusun
Pandean dan Kembang Kuning. Pada kesempatan itu yang bertindak menjadi Imam
Sholat adalah Mbah KH. Bahruddin Kalam dan yang menjadi Bilal adalah bapak H.
Qodir sedangkan yang bertindak sebagai khotib adalah Bapak Subadar dari dusun
Sengon selaku Mudin Desa dengan tema P4 yaitu Pedoman penghayatan, dan pengamalan
Pancasila.
Namun pagi-pagi sebelum sholat jum’ah
dilaksanakan beliau membawa semua keluarganya serta ditemani
satu santri putri ayahnya bernama Siti dari Banyuwangi untuk ikut serta dalam perjuangan. Hal itu
semua sesuai petunjuk dan atas perintah ayahnya.
Usai shalat jum’at dilaksanakan peresmian
Masjid pun mulai digelar, dalam acara peresmian itu dihadiri oleh beberapa
tokoh masyarakat, muspika Purwosari, Koramil dan beberapa tokoh yang lainnya,
hadir pula Mbah KH Munawir, dan beberapa ulama’ lainnya. Dalam kesempatan itu
Mbah KH. Bahruddin Kalam menuturkan “sedoyo mawon masyarakat sengonagung
khususe pandean-kembang kuning, kulo titip anak kulo, anak kulo tak kengken
ngedekaaken pondok lan sekolahan, gak ridlo dunyoo akhirat nek sampek oleh
bayaran, nek sampek oleh bayaran tolong sampean elingno, nek gak wani
ngilingno, kandaaken kulo, nek kulo pun mboten wonten, kandaaken makne, nek
makne wis boten enten dimuen. Anak kulo Sholeh, kulo titipno teng panjenengan,
enten klirune segera dielingaken, sebab niki nggeh manungso”.
Setelah satu minggu peresmian masjid digelar,
ada salah seorang warga Kembang Kuning yang bernama Bapak Nur Salim datang kepada
beliau dan dengan senang hati pak Nur Salim memberikan sebuah gubuk kecil yang terbuat
dari anyaman bambu berukuran + 2,5 m2, untuk dijadikan pondok angkring sebagai
tempat istirahat para santri. Setelah itu barulah pondok pesantren secara
terang-terangan menampakkan jati dirinya sebagai bengkel rohani dan kemudian
terus berkembang secara pesat dari tahun ke tahun hingga kini.
A. Ujian dan
Cobaan di Bumi “Ngalah”
Mungkin sudah menjadi ketentuan dan kehendak Tuhan, dimana ketika seorang anak
manusia berjalan pada rel Ilahi dan mencoba melaksanakan sebuah perintah
sebagai kholifah fil ardi dia tak akan lepas dari apa yang namanya ujian
dan cobaan, dan mungkin hal itu merupakan badai terpaan kemuliaan yang Tuhan janjikan
bagi orang-orang yang selalu sabar dan tabah dalam menghadapi dan menerima
cobaan dan ujian itu. Dengan kata lain semakin tinggi ujian dan cobaan yang
diberikan kepada seorang hamba semakin tinggi pula derajat dan kemulian yang
diberikan pada hamba yang mampu menerima semua itu dengan ikhlas dan tabah.
Di saat beliau (KH. Sholeh Bahruddin) menerima sebuah amanah untuk
mendirikan Pondok Pesantren dan hijrah meninggalkan tanah kelahirannya,
sebenarnya beliau sudah menjalani gelombang batin yang sangat luar biasa, sebab
pada saat itu perekonomian keluarga beliau sudah sedikit tertata dengan baik,
dan kehadiran seorang anak sudah bisa menghibur jiwa dan bisa meramaikan suasana
keluarga, namun itu semua harus beliau tinggalkan dengan ikhlas demi
menjalankan perintah sang guru, pergi jauh melaksanakan perintah perjuangan.
Dalam kaitannya dengan penerimaan ujian dan cobaan, pada awal perjuangan di
negeri orang sebenarnya beliau sudah menyadari akan adanya aral melintang yang
akan menghalangi perjuangannya, krikil-krikil tajampun akan menghambat
cita-cita mulianya. Kesadaran akan semua itu pada akhirnya membuat beliau lebih
berhati-hati dan lebih menata diri, serta menyiapkan batin dengan berbagai
konsekwensi perjuangan. Oleh karena itu dengan keenam santri yang dibawah dari
pesantren ayahnya beliau mengawali perjuangannya dengan beradaptasi dengan
lingkungan, kultur, adat istiadat yang ada dan meleburkan diri dalam pergaulan
sosial ditengah-tengah masyarakat yang menjadi target perjuangan beliau. Dan beliau
selalu berpesan kepada ke enam santrinya ”seng ati-ati yo iki ngunu ono
desane wong”. Beliau menyadari bahwa hidup ditengah-tengah masyarakat yang
majmuk itu sangat sulit, sehingga sebuah pesan awal itu harus beliau sampaikan.
Sebuah pesan yang mempunyai makna dan nilai yang cukup luas dalam kehidupan,
artinya bergaul dengan masyarakat itu harus disertai dengan akhlak yang mulia,
tatakrama dan kesopanan harus menjadi pondasi dasar dalam pergaulan, begitu
halnya ketawadu’an harus disertakan pula, kesabaranpun harus dipertahankan dan
lain sebagainya.
Setelah beberapa hari beliau menempati tempat per juangan dan telah
mengenal beberapa warga barulah beliau mulai membuka kultur atau budaya yang
harus ada di dunia pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yaitu sebuah
budaya ngaji atau belajar, namun karena keterbatasan tempat dan waktu
yang masih dibilang singkat pada akhirnya beliau dan santrinya membuka lembaran
kitab kuning itu diberbagai musholah yang ada dan berpindah-pindah, dari mushollah yang satu kemushollah yang lain, namun yang paling
sering beliau tempati adalah di mushollahnya bapak H. Huri dusun Kembang
Kuning.
Beberapa hari kemudian, sesuai dengan tujuan awalnya yaitu
mendirikan pondok pesantren beliau mulai membangun relasi dengan masyarakat
sekitar, dan sebagai warga negara yang baik beliaupun meminta izin kepada
perangkat desa yang kebetulan pada saat itu dia juga menjadi salah satu tokoh
masyarakat untuk mendirikan sebuah masjid terlebih dahulu, namun hal itu tidak
semudah yang kita bayangkan, beliau yang sudah diketahui keberadaannya oleh
pemuka agama itu harus rela menerima sebuah ujian kesabaran dan ketabahan
terlebih dahulu. Pagi-pagi datanglah beliau kerumahnya untuk bersilaturrohmi
dan meminta izin untuk mendirikan sebuah masjid itu, sesampai dirumahnya,
beliau yang berjalan kaki kurang lebih 2 km tidak kunjung ditemuinya meskipun
orangnya ada, sehingga beliau kembali pulang. Akan tetapi beliau yang memang
mempunyai kesabaran dan ketabahan hati tak sedikitpun surut semangatnya untuk
mendirikan sebuah masjid yang merupakan hal penting dalam pendirian pondok
pesantren, sehingga beberapa hari kemudian beliaupun mencoba bersilaturrohmi kembali
namun lagi-lagi beliau masih tidak ditemui juga, dan hal itu berulang kali
terjadi.
Setelah beberapa kali beliau datang kerumahnya pada
akhirnya orang itu menemui beliau, namun lagi-lagi beliau masih harus menerima cobaan
dan ujian. Kedatangan beliau yang disertai niat mulia ternyata mendapatkan
perlakuan yang kurang baik, dan permohonan perizinan beliau
untuk mendirikan masjid ditolak olehnya dengan mengatakan “teng mriki mboten
butuh kyai utowo gus” (disini sudah tidak membutuhkan seorang kyai atau
gus). Mendengar hal itu dengan sopan beliau menjawab, kulo mboten ngedekaken
pondok namung ndamel mushollah mawon lan damel sholat kale keluarga kyambek.
(saya tidak mendirikan pondok pesantren, cuma mau mendirikan mushollah saja
untuk sholat berjama’ah dengan keluarga).
Setelah ujian dan cobaan itu beliau lalui pada akhirnya
beliau mendapatkan izin untuk mendirikan masjid. Namun ujian dan cobaan Tuhan
tidak berhenti disitu akan tetapi terus berjalan menyelami kesabaran dan
ketabahan beliau. Seiring dengan pendirian masjid cemoohan dan fitnahan mulai datang,
suatu ketika seiring dengan pendirian masjid beliau dituduh dan di fitnah akan mendirikan
sebuah gereja, hal itu dilatar belakangi dengan adanya salah satu warga pandean
yang menjadi tokoh kristen bernama pak Sujud, sehingga keberadaan beliau
dikait-kaitkan dengannya. Dengan sabar beliau menerima semuah fitnahan itu.
Kesabaran beliau dalam menerima semua itu ternyata harus diuji lagi sehingga
hembusan angin fitnahan itu terus menyebar luas kepada masyarakat sekitar dan berujung
pada tuduhan atas beliau sebagai anak buangan dari mantan anggota PKI (Partai
Komunis Indonesia). Hal itu merupakan badai gelombang yang sangat luar biasa
bagi beliau, sebab saat itu kondisi bangsa masih mencekam akibat adanya Gestapu
tahun 70 an yaitu suatu gerakan pembantaian terhadap para anggota PKI dan
keluarganya. Namun meskipun demikian beliau tetap bersemangat dan tidak kecil
hati.
Melihat kesabaran dan ketabahan beliau yang begitu luar
biasa membuat sebagian masyarakat semakin simpatik dan menaruh empatinya kepada
beliau, namun tidak sedikit pula yang semakin iri dan dengki kepada beliau, dan
terus melancarkan fitnahan dan tuduhan untuk merintangi dan menghalangi langkah
dan tujuan mulia beliau. Suatu riwayat disaat usai
pemasangan gedek masjid ada salah seorang tokoh agama menghasud beliau di forum
kemasyarakat dia mengatakan pada jama’ahnya “mosok onok masjid teko gedek”
(masak ada masjid yang terbuat dari bambu), dan hal itu sering kali di lontarkan
diberbagai majlis ta’lim yang dipimpinnya.
Selama masa perjuangan, beliau tak lepas dari yang
namanya ujian dan cobaan mulai dari cemoohan, hujatan bahkan ancaman. Ujian
terus berlanjut hingga suatu ketika ada kabar akan ada sekelompok masa yang
akan merobohkan masjid yang masih terbuat dari bambu itu dan berencana mengusir
beliau dari lokasi karena beliau dianggap salah satu golongan yang akan merusak
tatanan budaya NU. Mendengar adanya isu tersebut sebagian warga yang selalu
membantu beliau merasakan kekhawatiran akan kebenaran isu tersebut, dan berjaga-jaga
mengantisipasi beberapa kemungkinan.
Meskipun beliau dan para santrinya hidup dengan sederhana
dan makan seadanya, nasi akin, ubi, jagung, bahkan bongkele gedang
(pelapa pohon pisang), menjadi makanan sehari-hari, bahkan beberapa hari beliau
dan para santrinya harus menahan lapar karena ketidak berdayaan dan kekuarangan
bahan makanan, susah sedih selalu beliau rasakan
dalam mengawali perjuangan, sampai pada suatu ketika, setelah sholat maghrib
perut para santri mulai terasa lapar sekali namun gak ada uang untuk membeli
makanan yang bisa mengganjal perut sampai
esok pagi, cadangan beras di dapur kyaipun tidak ada, laparnya perut
sudah tak kuasa ditahan, namun apalah daya, hanya ketawakkalan saja yang bisa
mendatangkan karunia Tuhan. Disaat perut mulai sakit tiba-tiba ada salah satu
warga yang bernama pak Karjin mengetahui nasib para santri itu dan prihatin
melihatnya, dan akhirnya dengan rasa kasihan melihat hal itu akhirnya pak
Karjin pulang mengambil beras sebanyak 2 kilo dan diberikan kepada para santri.
Tentu saja dengan rasa syukur yang mendalam para santri
menerima rizki itu, disela sela kelaparan yang mendalam para santri langsung
memasak semuanya tanpa sisa, dan sebagian santri langsung mencari ikan di
sungai. Setibanya dari mencari ikan dan dimasak seadanya ternyata nasi yang di
masak tak kunjung matang juga, hal itu dikarenakan kebanyakan beras yang
dituangkannya. Dalam kondisi yang begitu lapar membuat sebagian santri tak
sabar menahan lapar, dan akhirnya para santri memutuskan untuk memakannya meskipun
belum matang yang penting perut bisa kenyang.
Meskipun kondisi beliau dan para santrinya cukup
memperihatikan, namun masih saja banyak orang yang iri dan dengki kepada
beliau, sehingga cobaan dan ujian, fitnahan dan cemoohan terus beliau terima.
Sampai pada suatu hari ketika beliau mencoba memperbaiki perekonomian keluarga dan
untuk memenuhi makan para santri dengan menanam polowijo seperti ubi-ubian,
jagung dan cengkeh, tiba-tiba tanpa
beliau sadari ternyata berbuah fitnahan dan hasutan ditengah-tengah masyarakat,
tersiar kabar bahwa beliau sedang menamam ganja. Spontan hal itu cukup
mengusik ketenangan masyarakat, sehingga tak sedikit pula masyarakat yang
mengklarifikasi kebenaran hal itu semua, namun dengan sabar dan tabah serta
dengan kesopanan beliau menjelaskan ketidak benaran semua itu dan
alkhamdulillah fitnahan itu tidak berlanjut lama.
Setelah itu perkembangan pondok pesantren mulai
kelihatan, kesabaran beliau mulai tidak diragukan lagi dan keberadaan beliau serta
pondok pesantrennya semakin didengar oleh masyarakat luas. Setelah pembangunan
masjid yang terbuat dari bambu itu dapat diselesaikan barulah beliau dan sebagian
masyarakat merayakan dan meresmikannya, bersamaan itu pula santri putri mulai
ada dan semakin bertambah dari hari kehari.
Melihat perkembangan pondok pesantren yang semakin pesat
membuat pihak-pihak yang merasa iri hati dan dengki semakin menjadi-jadi,
mereka terus berupaya untuk menjatuhkan beliau, tak henti-hentinya mereka
menabur fitnah, sampai pada suatu ketika beliau rela di fitnah telah melakukan
perzinahan dengan santrinya sendiri. Tak telak hal itu membuat gempar
di tengah-tengah masyarakat, dan banyak masyarakat yang terpengaruh dan oleh fitnahan
itu. Semakin-hari semakin santer fitnahan itu, cemoohan dan suara tumbangpun terus
bermunculan sampai-sampai saat beliau jalan-jalan harus dicemo’oh dan dihujat,
pernah juga suatu hari ketika beliau pergi kepasar untuk berbelanja, tiba-tiba
ada seseorang yang menghampiri beliau ditengah-tengah kerumunan dan menyapa
beliau dengan sapa’an fitnahan ”oh iki ta kyai seng jarene ngetengi santrine
dewe iku, lapo koen mrene” (oh ini ta kyai yang menghamili santrinya
sendiri itu, ngapain kamu kesini), dengan sabar dan santun beliau menjawab ”inggih,
kulo tiyange, kulo mriki bade pados buah-buahan soale wonten sing nyidam nem
sasi” (iya, saya orangnya, saya kesini mau cari buah-buahan sebab ada yang
nyidam hamil enam bulan). Mendengar jawaban beliau seperti itu sipemfitnahpun
merasa senang dan menganggap telah berhasil menjatuhkan harga diri beliau di
depan banyak orang, lalu kemudian dia mengatakan ”yo benar a omonganku,
pancen wong iku ngetengi santrine dewe” (ya benarkan omongan saya, memang
orang itu telah menghamili santrinya sendiri). Tentu saja fitnahan dan tuduhan
itu kian hari kian diperbincangkan oleh masyarakat, sehingga terkadang membuat
keresahan bahkan banyak orang yang langsung mendatangi beliau dan
mengklarifikasi akan kebenaran isu itu.
Begitu ramainya isu atau fitnah itu dibicarakan oleh masyarakat membuat
musuh beliau semakin berkesempatan untuk mempengaruhi sebagian warga guna
mendesak perangkat desa untuk bertindak tegas dan mengusir beliau dari dusun
Pandean dan Kembang Kuning, akhirnya sukses juga apa yang mereka lakukan, beliau
dipanggil di balai desa dan di sidang. Namun meskipun demikian beliau tetap
sabar dan tabah menghadapi semua ujian dan cobaan itu. Beliau yang memang bersih hatinya dan memang bersih
dari semua tuduhan itu hanya mengembalikan semua itu kepada Tuhan yang mengatur
alam semesta ini seraya mendo’akan kepada semua orang yang telah memfitnahnya
agar supaya diberi hidayah oleh Allah SWT. Semoga Allah SWT terus menjaga dan
memberikan kekuatan kepada beliau amin.
Sesampainya beliau dibalai desa gunjingan, cemo’ohan, hinaan bahkan ancaman
untuk mengusir dan membunuh beliau terus menghiasi suasana, suasanapun menjadi
tegang dan mencekam. Persidanganpun mulai digelar. Namun karena pada dasarnya
itu semua hanya sebatas fitnahan saja, maka tidak ada saksi maupun bukti yang
berani dan bisa membenarkan tuduhan itu, dan akhirnya bebaslah beliau dari
semua fitnahan itu. Setelah itu semakin hari semakin banyak orang yang simpatik
dan empati melihat kesabaran dan ketabahan beliau sehingga pada akhirnya pintu
hatinya terbuka untuk menerima dan mengakui keberadaan beliau sebagai utusan
Tuhan yang akan mengajarkan kalam-kalam-Nya. Dan akhirnya gunjingan terhadap
beliaupun sedikit demi sedikit mulai hilang dan suasanapun mulai tenang dan semakin
berpihak pada beliau. Masyarakat dan lingkungan sekitarpun mulai bertambah
banyak mendekat dan bersahabat dengan beliau.
Melihat semakin besarnya kepercayaan masyarakat terhadap beliau membuat
beberapa orang yang masih iri dan dengki pada beliau merasa terancam, sehingga
mereka terus berupaya menghasut dan menjatuhkan beliau, sehingga pada suatu
ketika, disaat awal beliau memberikan
pelajaran tambahan bagi para santri tentang baca Al-qur’an (qiro’ah) dengan
mendatangkan guru dari luar yaitu KH. Imron
Rosyadi tiba-tiba salah satu tokoh mempengaruhi jama’ahnya yang kebetulan sedang
bersamaan melakukan kegiatan hadrah. Dengan dalih bersamaan dan dapat
mengganggu kegiatan kemasyarakatan yang sudah berjalan si orang itu mengajak
untuk membubarkan kegiatan beliau itu.
Tidak cukup itu saja ujian dan cobaan yang beliau terima pernah suatu hari ketika beliau sedang khusuk mengaji
dengan para santrinya, tiba-tiba datang seseorang yang tidak beliau kenal,
dengan nada kasar dan keras orang itu menantang beliau ”Hai nek awakmu
pancen kyai ayo muduno nek wani, ayo carok ambek aku). (hai kalau kamu
benar seorang kyai ayo turunlah kalau berani, ayo carok dengan saya). Tidak
cukup itu kesabaran beliau di uji pernah juga sore hari setelah pengajian tafsir, tiba tiba beliau dihampiri seseorang dan orang tersebut
menghina serta langsung meludahi wajah beliau. Namun meskipun demikian beliau
tidak membalas dan juga tidak marah akan tetapi beliau terima itu semua dengan
sabar dan ikhlas, dan dengan tutur bahasa yang halus beliau berucap “alhamdulillah,
nembeh sakniki kulo saget wudlu ndamel idu” (alhamdulillah, baru kali ini saya
bisa wudlu dengan air luda), dalam hati beliau berkata mungkin ini jalan menuju drajat
mulia.
Pernah juga suatu ketika beliau dihampiri seseorang
dengan membawa sebuah kapak di tangan, tiba-tiba marah-marah dan menghunuskan
kapaknya tepat diatas kepala beliau, dengan tenang dan dengan rasa persaudaraan
beliau justru menggandeng orang tersebut dan berkata “monggo pinarak teng
griyo” (mari singgah kerumah). Dengan kesantunan yang diperlakukan akhirnya
orang tersebut bergetar dan tidak bisa meneruskan perbuatannya untuk melukai beliau.
Inilah salah satu sifat beliau dalam menghadapi cobaan dan ujian yaitu dengan tabah,
sabar, besar hati, dan selalu mengalah. Sungguh mulia beliau.
Hari demi hari beliau jalani dengan ancaman dan teror
dari beberapa orang yang tidak menyukai kehadiran beliau dalam medan dakwah
ilahi, namun hal itu semua tidak membuat
beliau semakin menghindar dari perintah Tuhan dan membimbing umat kejalan yang
benar dan diridhoi. Dengan jiwa yang tenang dan menyandarkan semua itu pada
takdir Tuhan beliau hadapi semua ancaman dan teror itu dengan sabar dan ikhlas.
Seiring dengan beberapa peristiwa upaya pembunuhan terhadap beliau, cobaan dan tekanan
juga datang dari pemilik tanah, dia meminta untuk segera dilunasi sisa pembayarannya,
padahal pembelian tanah itu sebenarnya
sudah lunas namun tidak diakui oleh pemilik tanah dengan alasan tidak ada
kwitansi atau tanda buktinya, pada waktu itu jumlah uang yang harus beliau
tanggung kurang lebih Rp. 400.000, si
pemilik tanah itu mengancam akan mengusir beliau dari lokasi jika tidak segera
melunasinya dalam beberapa waktu.
Sungguh hal itu merupakan cobaan yang sangat berat bagi
beliau sebab hal itu tidak hanya dapat dihadapi dengan kesabaran dan ketabahan
hati saja, akan tetapi harus disertai dengan kerja kongkrit dalam mencari
solusinya. Setelah itu akhirnya beliau bermusyawarah terkait hal itu dengan salah
satu warga yang selalu membantunya, dan beliau mengatakan ”seng petang atus mboten diakui, dospundi niki?, nopo niku
mawon tanah sebelah wetan sampean kaplingaken”. (Yang 400.000 tidak diakui, gimana ini? Apa tanah yang
disebelah timur itu dijual saja?). Mendengar perkataan dan melihat kesedihan
beliau seperti itu akhirnya para sahabat
beliau langsung membantu dan mencari orang yang mau membeli tanah itu, walhasil
dengan pertolongan Allah tidak lama kemudian ada empat orang yang bersedia
membeli sebagian tanah beliau diantaranya adalah: 1. Bapak H. Rohin. 2. Bapak
Ponadi. 3. Bapak Kasiadi. Dan 4. Bapak H. Dollah dengan harga Rp. 2.000 permeter. Semoga Allah selalu melimpahkan rizki
dan karunianya kepada beliau amin.
Selain cobaan dan ujian yang tampak dan terlihat oleh mata dalam keadaan
sadar, beliau juga menerima cobaan dan gangguan yang tak nampak oleh panca
indra manusia dari orang-orang yang iri dan dengki atas perjuangan beliau,
sehinga pada waktu itu selain kondisi yang cukup memprihatinkan dengan hidup
sederhana, ditambah lagi perasaan hati yang terus mendapatkan teror, ancaman,
fitnahan, dan cemo’ohan banyak santri yang sakit
dan harus tersungkur karena sering kalinya mendapatkan serangan udara dari
tukang tenun. Melihat begitu banyaknya serangan tenun yang dilancarkan oleh
mereka membuat beliau dan para santrinya harus rela mengurangi waktu tidur
malamnya, hal itu demi menjaga ketahanan tubuh dari gangguan tenun atau santet itu,
pernah suatu ketika ada yang mencoba menghitung santet atau tenun yang datang
menghampiri beliau dan para santrinya mulai dari jam 09-12 ternyata terhitung sebanyak
49 kali bahkan ketika dihitung mulai ba’da isya’ sampai menjelang subuh bisa
mencapai 99 kali gangguan santet itu mencoba menerobos beliau dan para
santrinya, namun semua itu adalah kehendak Tuhan, apakah beliau bisa bertahan
atau tidak dari gangguan semacam itu. Pernah juga suatu hari beliau harus
tersungkur sebelum melaksanakan sholat isya’ dimasjid dan harus dibopong
kembali ke kediaman beliau, selain itu juga beliau juga pernah mengalami sakit
mata yang tak wajar oleh rekam medis dan membengkak selama berbulan-bulan. Hal
itu terjadi bersamaan dengan pembangunan gedung sekolahan MTs. Begitu beratnya
cobaan dan ujian yang beliau terima dalam mencari ridho Allah SWT. Semoga Allah
selalu memberikan pertolongan dan kekuatan kepada beliau amin.
Tantangan demi tantangan, cobaan demi cobaan selalu
beliau hadapi dengan kesabaran dan ketabahan (ngalah), namun bukan berarti
cobaan sebagai ganti kemuliyaan itu oleh Tuhan dihentikan. Tuhan yang masih
sayang pada beliau masih ingin menguji kesetiaannya, sekitar tahun 1989 kehendak
Tuhan tak dapat ditawar lagi sehingga beliau harus rela menerima ujian Tuhan
yang sangat dahsyat, dimana beliau harus merelakan kepergian putra kesayangannya yang diharapkan bisa menggantikan
beliau dikemudian hari untuk selama-lamanya yaitu Ahmad Faishol
(alm.). Tak lama kemudian beliau juga harus rela ditinggal mati oleh
orang tuanya yang selalu memberikan perlindungan dan kasih sayangnya, serta
bimbingan, tepatnya bulan desember 1989 M tidak berhenti disitu pada tahun 1990 M beliau juga masih diuji kesabarannya lagi oleh
Tuhan dengan diambilnya putra ke delapan beliau kepangkuan Allah SWT yang
bernama M. Bustomi (alm). Semoga mereka diberi tempat yang paling
mulia disisi-Nya amin.
Tidak ketinggalan pula sang guru (Mbah KH Munawir) yang
sejak awal sudah menaruh kepercayaan kepada beliau untuk bisa mengantikan dan
meneruskan perjuangannya juga ikut menguji beliau, pada saat itu beliau baru
mempunyai mobil, tiba-tiba sang guru datang pada beliau, melihat didepan rumah
beliau ada sebuah mobil sang gurupun kemudian bertanya ”awakmu wes duwe
montor” (kamu sudah mempunyai mobil) beliau lantas menjawab ”inggih
nembeh tumbas” (iya, baru beli) mendengar jawaban beliau seperti itu sang
gurupun langsung meminta mobil yang baru dibelinya itu ”montor iki tak pe’e”
(mobil ini tak minta), tanpa pikir panjang beliau yang mempunyai keta’atan pada
sang guru memberikan dan menghantarkan mobil itu ke rumah sang guru di
Kertosono ke esokan harinya. Melihat
keta’atan dan keikhlasan beliau seperti itu, suatu hari ada sahabat beliau
bertanya ”kok moro diparengaken gus, padahal niku jenengan butuhaken”
(kok langsung diberikan gus, padahal itu kan kamu butuhkan), dengan tersenyum
beliau menjawab ”ilmu seng sampun diparengaken guru kulo luweh awes
katimbang mobil niku” (ilmu yang sudah diberikan seorang guru itu lebih
mahal dari pada sebuah mobil). Sungguh mulia beliau, ketaatan kepada sang guru
pantas untuk kita tiru dalam menggapai ridho guru.
Dari beberapa peristiwa, serta dari cobaan dan ujian yang beliau hadapi selama perjuangan pernah suatu
hari sebelum ayah beliau wafat, beliau bersama ayahnya sowan atau datang kepada gurunya dikertosono yaitu Mbah KH.
Munawir. Disana beliau menceritakan pengalaman dan cobaan yang dihadapinya, dan
dari cerita beliau itu akhirnya sang
gurupun memberikan sebuah pusaka ampuh untuk dipegang dan dijalaninya yaitu pusaka
“Ngalah barokah”, dan dari sinilah muncul inisiatif untuk dijadikan sebagai nama
Pondok Pesantren yaitu Pondok Pesantren ”Ngalah” dan menggantikan nama
sebelumnya yaitu Darut Taqwa II.
Ujian dan cobaan semua itu merupakan sebagian
kecil yang dialami beliau, masih banyak ujian dan cobaan beliau yang lainnya
yang tidak dapat tercatat dalam buku ini, Sungguh mulia beliau, kesabaran,
keikhlasan, dan ketabahan beliau patut menjadi cermin bagi kita semua. Dan
mudah-mudahan Allah SWT selalu menjaga dan memberikan kekuatan serta memberikan
umur yang panjang kepada beliau sehingga kita semua dapat terus mengais
pancaran beliau dan semoga Tuhan meridhoi beliau amin.
A. Perkembangan
Pondok Pesantren “Ngalah”
Setelah sekian lama beliau menjalani
pahit getirnya perjuangan dalam kondisi atau budaya masyarakat yang jauh dari tuntunan
Ilahi, tibalah beliau pada suatu proses untuk mengembangkan pondok pesantren
yang bisa dijadikan pelabuhan bagi orang-orang yang mendapatkan hidayah Tuhan
untuk mempelajari dan mendalami ilmu agama dan tersingkir dari kebodohan syaitoniyah.
Banyaknya orang yang masih lalai akan perintah Tuhan,
adanya lokalisasi para WTS (wanita tuna susila) disekitar lokasi perjuangan, ditambah
lagi kondisi perekonomian masyarakat yang jauh dari kata sejahtera serta latar
belakang pendidikan masyarakat yang masih minim menjadi sebuah tantangan berat
bagi beliau dalam perjuangannya dan mengembangkan
pondok pesantrennya. Namun dengan keinginan dan cita-cita luhur beliau serta didasari
dengan keuletan dan ketabahan yang paripurna akhirnya semua itu bisa beliau capai
dan saat ini tampak jelas keberhasilan beliau seperti yang kita ketahui
bersama.
Untuk membangun dan mengembangkan pondok pesantren tidaklah muda seperti
yang kita bayangkan, perlu adanya sebuah usaha keras, keuletan, ketabahan,
kesabaran, sekaligus perlu perencanaan-perencanaan serta langkah-langkah
strategis yang harus dilakukan. Untuk itu sebelum beliau secara terang-terangan
memberlakukan dirinya sebagai hamba Tuhan yang berjuang dijalan-Nya langkah awal
yang beliau tempuh adalah melakukan pendekatan dan menarik hati masyarakat
sekitar dan para tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh ditengah-tengah kehidupan
masyarakat, dengan memberlakukan kesopanannya kepada siapapun saja, selalu
menyapa siapapun yang beliau jumpai meskipun beberapa kali sapaan itu harus
dibalas dengan cemo’ohan, terlebih lagi ketika hari raya beliau selalu berkeliling
kerumah-rumah warga untuk bersilaturrohmi dan nitipno awak. Itulah
langkah awal yang beliau lakukan dalam rangka mencari sahabat untuk membangun
dan mengembangkan pondok pesantren yang tercinta ini, dan itu semua patut
kiranya menjadi cermin bagi kita semua ketika kita terjun ditengah-tengah
masyarakat.
Dengan itu semua akhirnya dengan waktu yang relatif cukup singkat beliau sudah
menemukan sahabat yang setia menemani dan selalu membantu dalam perjuangannya. Setelah
cukup baik persahabatan beliau dengan beberapa tokoh masyarakat akhirnya beliau
mencoba untuk mempengaruhi dan mengajak mereka untuk melakukan syari’at sholat.
Meskipun awalnya sempat ditolak oleh mereka atas dasar ketidak mengertian
mereka tentang tata cara sholat, namun pada akhirnya mereka mau menerima ajakan
beliau, hal itu bisa tercapai karena beliau tidak terlalu kaku dalam
memberlakukan hukum bagi mereka, beliau mengajak dengan sederhana “sholat
niku gampil, nggeh sak saget-sagete mawon, maos bis bis tok nggeh mboten
nopo-nopo seng penting sholat”. Dengan kemurahan hukum yang beliau
berlakukan bagi mereka yang masih tidak tau itu pada akhirnya terlaksana juga
ajakan beliau meskipun awal mulanya hanya di ikuti 7 orang saja. Setelah itu lama-kelamaan
beliau mulai mengajarkan sedikit demi sedikit tentang tata cara sholat yang
baik dan benar. Dan pengajaran hukum syar’i itu beliau ajarkan dengan suasan
senda gurau, penuh dengan kesabaran dan ketelatenan yang pada akhirnya beliau juga
membimbing mereka ilmu thoriqoh, pada waktu itu orang yang pertama kali masuk
dan dibaiat masuk thoriqoh oleh beliau adalah pak Satuna dan selanjutnya pak
Satuna mengabdikan diri sebagai muadzin yang istiqomah. Setalah pak Satuna
mulai banyak orang yang masuk thoriqoh dari hari kehari, selain itu juga beliau
berhasil membimbing thoriqoh Mbah Karjin, yang menurut cerita sebagian warga
dia dulunya adalah orang kaya yang sukanya adu ayam jago dan kemudian oleh
beliau dijadikan bendahara jam’iyah thoriqoh.
Keinginan dan cita-cita beliau yang kuat
untuk terus mengembangkan pondok pesantren tidak surut sedikitpun meskipun banyak
kendala yang dihadapinya terutama dari segi keuangan, kerja keras, mencari batu
sungai, dan pekerjaan yang lain sering kali beliau lakukan sendiri tanpa
mengenal lelah dan letih, setelah bangunan masjid dari bambu sudah beliau rampungkan,
beliau mulai mencoba untuk menarik santri dari luar. Hal itu tentunya tidak
mudah untuk dilakukan, namun sebagai langkah awal dalam menarik para pemuda
untuk datang dan belajar kepada beliau, akhirnya beliau membuat dan menyediakan
sebuah permainan yang menjadi kesukaan para pemuda saat itu yaitu permainan karambol. Setelah adanya permainan itu lambat laun pemuda
sekitarpun mulai banyak yang berdatangan, meskipun awal mulanya hanya sebatas
ingin bermain saja namun lama-kelamaan mereka mulai tertarik untuk mengikuti
pengajian dan belajarlah mereka pada beliau.
Waktu terus berjalan dan
santripun semakin bertambah banyak, tempat bermukim yang terbuat dari bambupun
sudah tidak mampu menampung para santri yang bermukim. Melihat kondisi itu beliau
mulai berfikir untuk membangun sebuah pemukiman bagi para santri. Dengan dana
yang beliau miliki pada waktu itu kurang lebih 15.000 (lima belas ribu rupiah),
beliau memberanikan diri untuk memusyawarakan keinginan itu kepada
sahabat-sahabat beliau, dan alhamdulillah para sahabat beliau menyetujuinya.
Beliau yang memang
mempunyai keinginan itu langsung memimpin perjuangan itu dengan inisitif
membuat batu bata sendiri, dan dengan bismillah para sahabat beliau langsung
membagi tugas, bekerja mencari bantuan dan mengumpulkan bahan-bahan yang
diperlukan guna mewujudkan keinginan beliau itu. Namun ironisnya pada saat
mencari kayu untuk keperluan bakar batu bata dan lain sebagainya ada tragedi
kecelakaan yang dialami oleh salah satu warga Pandean yang bernama Pak H. No,
tangannya patah akibat tertimpah pohon, namun enaknya beliau mendapatkan
jaminan oleh Mbah KH. Bahruddin Kalam yang mengetahui kejadiaan itu, Mbah KH.
Bahruddin berkata “oh ala pak No sampean koyok ngene soale ngewangi anakku
seng kate berjuang, aku Bahruddin janji mene-mene sampean tak jalukno nang
pengeran cek diceluk nang suworgone” (oh ya Pak No kamu jadi begini karena
membantu anak saya yang mau berjuang, aku Bahruddin berjanji besok kamu akan
aku mintakan kepada Allah agar supaya kamu dimasukkan ke dalam surga-Nya) amin.
Setelah bahan-bahan sudah
terkumpul pembangunanpun mulai dilakukan dan tidak lama kemudian pada tahun 1986 dengan kegotong royongan
masyarakat sekitar berdirilah bangunan berlantai dua dengan jumlah 4
kamar sebagai tempat tidur santri putra yang kemudian disebut asrama A (A.1 A.2
A.3 A.4) dan kini beralih menjadi A.1 A2 dan A.8 A.9.
Seiring
dengan pergantian sang waktu santri yang menuntut Ilmu pada beliau (Romo KH.
Sholeh Bahruddin) kian hari kian bertambah banyak, tak ketinggalan pula santri
putri pun mulai banyak yang mengaji dan belajar kepada beliau, melihat
perkembangan santri putri yang kian bertambah membuat para sahabat beliau ikut memikirkan
tempat tinggal mereka. Tidak jauh beda dengan pembuatan asrama putra, pembangunan
tempat tinggal bagi santri putripun dilakukan, walkhasil tidak lama kemudian
berdirilah asrama B dengan jumlah kamar pertama kali 2 lokal yaitu B.1 B.2 yang
kini menjadi kantor pusat putri.
Dengan semakin pesatnya perkembangan santri, menuntut beliau
untuk terus dapat menyediakan fasilitas dan kebutuhan bagi para santrinya
dimasa yang akan datang. Untuk itu dengan dibantu warga sekitar tepatnya pada
tahun 1987 berdirilah sekolah formal pertama kali yaitu sekolah tingkat
menengah dibawah naungan Depag atau MTs (Madrasah
Tsanawiyah) dan kemudian dibangun gedung
sekolahan dengan jumlah lokal kelas pertama kali 3 ruang yang kini beralih menjadi
kamar atau tempat mukim para santri putri yaitu asrama C, dengan identitas C.1
C.2 dan C.3.
Dari tahun ketahun pembangunan terus dilakukan oleh beliau baik fisik
maupun non fisik hal ini dilakukan untuk lebih menyempurnakan diri sebagai
lembaga yang mengabdi pada masyarakat. Namun itu semua memerlukan dana yang
cukup banyak, oleh karena itu selain didapat dari sumbangan para warga
terkadang beliau juga mengadakan ziaroh ke makam-makam para wali songo dan
sisanya dibuat sebagai tambahan biaya pembangunan, hal semacam itu beliau
lakukan kurang lebih hampir delapan kali mulai dari tahun 1987 – 1990.
Pondok Pesantren yang kian mengalami
perkembangan dan kemajuan pesat ditambah lagi banyaknya warga sekitar yang
melangkahkan kakinya dengan ikhlas untuk masuk pada bimbingan beliau membuat
salah satu sahabat beliau yang bernama mbah Karjin mempelopori perehapan masjid
yang masih terbuat dari bambu itu, dengan bahasa taqwa mbah Karjin berucap kepada
sahabatnya yang lain ”yo’ opo masjide iki? isin rek.. nang pengeran
nek bangunane gedhek”. Mendengar
hal itu spontan para sahabat yang lain langsung bersemangat untuk merenovasi
masjid yang masih terbuat dari bambu itu, dengan swadaya dan kegotong royongan
warga sekitar alhamdulillah pada tanggal 4 rojab
1408 H atau tepatnya pada tanggal 22 februari 1988 renovasipun mulai dilakukan
dan dapat dirampungkan selama 37 hari tepatnya pada tanggal 11 sya’ban 1408 H
atau tanggal 29 Maret 1988 M dengan menghabiskan dana sekitar Rp. 4.531.270.
dan selanjutnya diresmikan dengan acara pengajian yang dihadiri oleh Kyai
Matlab dari Sidoarjo dan pagelaran seni budaya pencak silat Pagar Nusa dimalam
harinya.
Beliau adalah seorang ulama’ yang selalu
berwawasan jauh kedepan dan jauh kebelakang, sehingga dengan itu semua beliau
terus mempersiapkan para generasi bangsa
dan membekali para santrinya untuk mencapai kedudukan fiddunya hasanah wafil
akhiroti hasanah, sehingga pada tahun 1988 bersamaan dengan renovasi masjid
beliau juga mendirikan sekolah lanjutan tingkat atas dibawah naungan Depag juga
yaitu MA (Madrasah Aliyah) dan kemudian disusul pada tahun 1994 tepatnya
tanggal 17 bulan juli beliau mendirikan taman kanak-kanak yang diberi nama RA
(Raudhotul Atfhal) dan juga sekolah dasar yaitu MI (Madrasah Ibtida’iyah).
Tidak cukup itu saja beliau memberikan wadah
bagi santrinya untuk mengembangkan kreasi dan ilmu pengetahuannya serta didasari
oleh kebutuhan masyarakat akan pentingnya sebuah pendidikan formal demi masa
depan akhirnya pada tahun 1997 beliau juga mendirikan sekolah tingkat tinggi
dengan nama STAIS (Sekolah Tinggi Agama Islam Sengonagung) yang kemudian
beralih menjadi sebuah Universitas dengan nama Universitas Yudharta Pasuruan
pada tahun 2001 dan diresmikan oleh mantan Presiden RI ke-4 yaitu KH.
Abdurrohman Wahid (Gus Dur). Namun sebelum itu, pada tahun 1999 beliau
mendirikan sekolah menengah atas lagi namun dibawah naungan Diknas yaitu SMA (Sekolah
Menengah Atas) dan disusul SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) pada tahun 2003.
Dengan ketenangan jiwa, kesabaran hati, ditambah
lagi dengan ketabahan dan keikhlasan, beliau dengan sifat mengalahnya, sopan
santunnya, kebijaksanaannya, serta keuletan yang tak mengenal lelah dan putus
asa, pada akhirnya beliau mampu terus mengembangkan pondok pesantren dari tahun
ketahun, sebuah keberhasilan yang diharapkan oleh banyak orang meskipun pada awalnya banyak yang tidak
mengira kalau pada akhirnya Pondok Pensantren beliau bisa berkembang pesat
seperti sekarang ini. Dengan pondok pesantren
yang didukung sikap dan etika yang penuh tauladan tersebut nama besar beliau kini
terdengar dimana-mana mulai tingkat Kabupaten hingga tingkat Nasional bahkan
Internasional.
Dan dengan itu semua kini Pondok
Pesantren yang berasimilasi dengan Yayasan
Darut Taqwa menaungi lembaga pendidikan formal mulai tingkat taman kanak-kanak
sampai perguruan tinggi (TK sampai Universitas Yudharta) dan pendidikan nonformal
mulai sifir hingga pendidikan Mu’allimin-Mua’llimat, dan selanjutnya Pondok
Pesantren mempunyai ciri tersendiri.
A. Nama dan
Tempat Kedudukan
Pondok Pesantren Ini diberi nama
“NGALAH” didirikan pada tahun 1985 yang berada di bawah naungan Yayasan Darut
Taqwa dan berkedudukan di Jl. PP. Ngalah Dusun Pandean Desa Sengonagung
Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan, dengan Nomor Telephon (0343) 611250 Pa
(0343) 614083 Pi. Po. Box 04 Pasuruan 67162
B. VISI dan
MISI
a.
Visi : Pondok
Pesantren Ngalah mempunyai Visi sebagai berikut :
“Membentuk santri yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT,
berakhlakul karimah, mampu menjawab tantangan zaman serta memiliki kepedulian
dan kepekaan terhadap masalah agama, pendidikan, sosial, budaya, nilai-nilai
kebangsaan dan kemasyarakatan serta berjiwa Rohmatal Lil-Alamin”
b.
Misi : Dalam
mewujudkan visi Pondok Pesantren Ngalah Mempunyai misi sebagai berikut :
1.
Menanamkan
Aqidah dan mengamalkan syariat Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
2.
Memberdayakan
potensi santri dalam lima wawasan yaitu, keagamaan, keilmuan, kemasyarakatan,
keorganisasia, dan kebangsaan sesuai dengan kultur Pesantren.
3.
Mengimplementasikan
nilai-nilai moral Pesantren dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan.
4.
Menyipkan
santri yang unggul dalam IMTAQ dan IPTEK
B. Asas, Tujuan
dan Fungsi
a. Asas
1. Al Qur’an dan
sunnah rosul
2. Sari’at Agama
Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-jama’ah.
3. Pancasilah dan
UUD 1945.
b. Tujuan dan
Fungsi
Pondok
Pesantren Ngalah bertujuan dan berfungsi sebagai :
1. Lembaga
Tafaqquh Fiddin
2. Pembinaan
Mental spiritual
3. Lembaga
Pengembangan Lima
Wawasan
a.
Keagamaan
b.
Keilmuan
c.
Kemasyarakatan
d.
Keorganisasian
e.
Kebangsaan
Silsilah Romo KH. Soleh Bahruddin
Secara garis keturunan atau Silsilah
Romo KH. Sholeh Bahruddin merupakan keturunan Rasululloh SAW yang
ke 33. Adapun silsilah beliau sebagaimana berikut:
1.
KH. M. Sholeh
Bahruddin
2.
KH. M.
Bahruddin Kalam
3.
KH. Kalam Arfi
4.
Nyai Salimah
5.
Kyai Sulaiman
6.
Kyai Hasan
Besari
7.
Kyai Ya’qub
8.
Kyai Muhammad
Besari
9.
Kyai Anum
Besari
10. Raden Ageng Abdul Rosyid
11. Raden Pangeran Santri
12. Raden Joko Tingkir
13. Pangeran Pandan Arum
14. Sayyid Maulana Ishaq
15. Sayyid Jamaluddin Husain
16. Sayyid Abdullah Khan
17. Sayyid Amar Abdullah
18. Sayyid Alwi
19. Sayyid Muhammad
20. Sayyid Alwi
21. Sayyid Muhammad
22. Sayyid Alwi
23. Sayyid Abdullah
24. Sayyid Ahmad Muhajir
25. Sayyid Hasan al-Bishri
26. Sayyid Tsaqib ar-Rumi
27. Sayyid Ali Uraidh
28. Sayyid Ja’far as-Shodiq
29. Sayyid Muhammad Baqir
30. Sayyid Zainul Abidin
31. Sayyidina Husain Ra.
32. Sayyidatina Fatimah az-Zahro Ra.
33. Sayyidina Muhammad SAW.
Silsilah Thoriqoh
Naqsyabandiyah, Qodiriyah, Kholidiyah Wal Mujadadiyah
Romo KH. Soleh Bahruddin
1.
KH. M. Sholeh
Bahruddin
2.
KH. Munawir
Tegal Arum
3.
Syekh Amnan
Telu’ Ngawi
4.
Syekh Mustofa
Tegal Arum
Syekh Minhaj Kebunsari
5.
Syekh Muhammad
Soleh Kutoharjo
6.
Syekh Sulaiman
Afandi Jabal Qubais
7.
Syekh Ismail
Barwis
8.
Syekh Sulaiman
Afandi Qorin
9.
Syekh Abdullah
Afandi Makin
10. Syekh Maulana Kholid Al-Bagdadi
11. Syekh Abdullah Ad-dahlawi
12. Syekh Habibullah Syamsuddin
13. Syekh Nur Muhammad Al-Badwani
14. Syekh Muhammad Syaifuddin
15. Syekh Muhammad ma’sum
16. Syekh Ahmad Al-Faruqi
17. Syekh Muaiyidid din Muhammad Al-Baqi
18. Syekh Muhammad Al-
19. Syekh Darwis Samarqondi
20. Syekh Muhammad Zahid
21. Syekh Ubaidillah Al-akhrori
22. Syekh Yakub Al-Jurkhi
23. Syekh Alauddin al-Athori
24. Syekh Bahauddin
25. Syekh Amir Kalal
26. Syekh Muhammad Baba As-Samasi
27. Syekh Ali Ar-Romaitani
28. Syekh Mahmud Anjar Panguni
29. Syekh Arif
30. Syekh Abdul Kholik Al-Fujdawani
31. Syekh Yusuf Al-Hamdani
32. Syekh Abi Ali Al-Fadli
33. Syekh Abi Hasan Al-Khirkini
34. Syekh Abu Yazid al-Bustomi
35. Syekh Ja’far Shodiq
36. Syekh Qosyim Bin Muhammad
37. Sahabat Salman Al-Farisi
38. Sahabat Abi Bakar as-Sidiq
39. Sayyidina Muhammad SAW.
40. Malaikat Jibril alahis salam
41. Allah SWT
DAFTAR NARA SUMBER CERITA
1.
Romo KH. Soleh Bahruddin
2.
Agus Misbahuddin
3.
Ust. Syaifullah, M.HI
4.
Ust. Yakutun Nafis, S.PdI
5.
H. Amin
6.
H. Huri
7.
H. Supa’i
8.
Pak Mi
9.
Pak Bari
10.
Cak Sutrisno
11.
Cak Khoiron
12.
Cak Basori
13.
Cak Asy’ari (Santri Pertama)
14.
Cak Majid (Santri Pertama)
15.
Dan Lain-lain
0 Comments