Perjalanan Hidup KH. Mohammad Bahruddin Kalam
Perjalanan Hidup KH. Mohammad Bahruddin Kalam (Ayahanda KH. Muhammad Sholeh Pengasuh PP. Ngalah, Purwosari-Pasuruan)
“Riwayat hidup KH.
Mohammad Bahruddin ini disusun, dengan harapan bisa dijadikan teladan
atau tuntunan. Dan riwayat ini disusun berdasarkan sumber data rekaman
KH. Mohammad Bahrudin semasa hidupnya, tepatnya pada hari Selasa pahing
tanggal 22 Selo 1398 H/ 24 oktober 1978, atas nama KH. Mohammad
Bahruddin Kalam. Carat – Gempol – Pandaan”.
A. Moqodimah
Dengan memanjatkan rasa puji
syukur yang sebenar-benarnya kepada Allah Swt dan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad Saw, karena apa? kita semua saat ini diberi nikmat
berupa kesehatan dan kita bisa menghayati riwayat hidup KH. Mohammad
Bahruddin Kalam.
B. Masa Kecil KH. Mohammad Bahruddin
KH. Mohammad Bahruddin Kalam
dilahirkan di Desa Juwet-Porong-Sidoarjo, 1346 H/1926 M. Ayahnya
bernama Kyai Kalam kelahiran Trenggalek, dan sekarang menetap di Dusun
Juwet-Porong-Sidoarjo. Dan Ibunya bernama Nyai Safurotun, kelahiran
Pelem-Kertosono-Nganjuk. Beliau mempunyai saudara sebanyak 12 orang
yaitu; Adinah, Mustajib, M. Bahruddin, Asmuri, Asro, Slamet, Jami’atun,
Nafi’atun, Abd. Manaf, Abd. Manan, dan Habisun.
KH. Mohammad Bahruddin Kalam
kecil belajar dirumah diajar langsung oleh ayahnya sendiri dan
guru-guru yang lain. Selanjutnya ketika menginjak dewasa beliau menuntut
ilmu syari’at kepada almukarom Kyai Din, Dusun
Kemacuk-Kertosono-Nganjuk, kemudian berlanjut kepada Kyai Hasyim (Alm),
Dusun Banaran di sebelah timurnya Pasar Kertosono dan kepada Kyai Nuhin
(Alm) Juwet-Porong.
Kemudian pada waktu beliau belajar (topo),
mengalami beberapa riwayat antara lain, pada waktu pagi hari ± jam
06.30 pagi, beliau dituduh tetangganya membunuh kambingnya, tetapi
ternyata selang beberapa waktu kemudian, beliau melihat kambing tersebut
keluar dari kandangnya. Itu riwayat pada waktu beliau di Juwet-Porong
diwaktu masih kecil.
C. Masa Perjuangan KH. Mohammad Bahruddin dalam Menumpas Belanda
Pada waktu Indonesia dijajah
oleh Belanda KH. Mohammad Bahruddin ikut berjuang untuk menumpas
Belanda di Kertosono-Nganjuk tepatnya pada tahun 1948 M. Dalam
penyerbuan tersebut beliau bergabung dengan santri pondok Nglawak,
Kertosono-Nganjuk. Dimana pada waktu itu proses belajar mengajar pondok
dihentikan, karena konsentrasi mengusir penjajah Belanda. Dan agresi
tersebut dipimpin langsung oleh Pak Dahlan, dia selain sebagai tentara
juga kepala pondok. Pernah sutu kali beliau dengan teman-temannya
memutus jembatan yang ada di dusun Printer, timurnya
Baron-Kertosono-Nganjuk dengan tujuan membuat bahaya pada orang-orang
Belanda.
Kemudian suatu ketika, waktu
Belanda membenahi Jembatan, ada seorang pemuda datang untuk melihat
dari dekat, dan setelah dekat, Belanda langsung melepaskan tembakan
tepat pada perutnya, seketika pemuda tersebut mati ditempat.
Strategi penyerangan yang
dilakukan oleh KH. Mohammad Bahrudin dan teman-temannya adalah gerilya,
dimana pada suatu malam beliau dan teman-temannya merencanakan
menghadang praoto (truck) yang membawa Kompeni Belanda yang
lewat di jurusan Jombang-Nganjuk. Kemudian beliau dan teman-temannya
musyawarah untuk menentukan langkah-langkah penyerangan dan diputuskan
dengan cara menggantung “Men”, yang digantungkan diatas pohon Trembesi,
yang condong kejalan. Kemudian yang bertugas naik keatas pohon tersebut,
untuk memasang “Men” adalah Misbarin, dari Dusun Pelem. Dan setelah
terpasang “Men” tersebut, ditarik dengan menggunakan kawat kecil yang
berjarak ± 40 m/50 m, dengan berat 25 kg, kemudian sewaktu-waktu praoto Kompeni Belanda lewat, kawatnya langsung diputus cek ngrutuhi Londo
(menjatuhi Belanda-red), selanjutnya beliau dan teman-temannya
menghajar Kompeni Belanda dengan menggunakan granat nanas. Kemudian
beliau dengan teman-temannya di atur untuk tiarap di pinggir jalan,
mulai sore sampai pagi, dengan tujuan untuk menjalankan agresi kepada
Belanda, akan tetapi ternyata setelah ditunggu-tunggu tidak ada praoto Kompeni Belanda yang lewat sama sekali. Dan teman beliau yang dipenggal oleh Belanda bernama Miftahun.
Pada waktu memikul peralatan
perang, beliau dan teman-temannya melewati kuburan yang besar dan
rimbun sekali, dan terdengar suara terkikih menakutkan. Tetapi beliau
dan teman-temannya malah senang sekali, bertemu dengan tempat yang
sangat rimbun dan gelap tersebut, karena menurut beliau dan
teman-temannya, tempat semacam itu bagaikan hotel, yang bisa dijadikan
sebagai tempat persembunyian dan tempat berlindung yang aman, sedangkan
suara terkikih itu dianggap sebuah hiburan yang menyenangkan.
Teman KH. Mohammad Baruddin
yang terbunuh karena di jebak oleh Belanda bernama Mustakim, pada waktu
agresi di Kertosono (tahun 1948), tidak diketahui tentang kabar
beritanya sampai sekarang (1980), dan Insya Allah 90 % meninggal dunia.
Suatu ketika beliau
ditugaskan oleh pimpinannya untuk menyelidiki daerah Pelem, tetapi naas
beliau tertangkap Belanda dan Cakra. Kemudian beliau ditahan selama
sehari di pabrik Sentanan Mojokerto, dan ± jam 10.00 siang beliau
didatangi ayahnya, pada waktu itu ayahnya berumur ± 75 tahun, kemudian
berkata kepada beliau, begini kata-katanya “Nak sak waged-waged sampean nak, sampean moco nopo-nopo mangken, mangken dalu, mantun maghrib Welandi kalian Cakra kalian mbeto lampu strongking kalian mbeto senjata…..niki, mangken sonten, narap dateng sampean lan wonten ingkang dipun taboki lan dipun jejek, lan dipun banting-banting setengah mati niku”. Setelah selasai berkata demikian, ayahnya pergi.
Ternyata benar yang dikatan
ayahnya tadi, dimana setelah maghrib beliau melihat kerlap-kerlip cahaya
lampu dari arah timur, melihat hal itu, beliau mencoba melompat tembok
pabrik, untuk menghindari Belanda tersebut, akan tetapi usahanya gagal,
karena Belanda dan Cakra sudah dekat. Kemudian beliau dan teman-temannya
di kumpulkan dan dihajar satu persatu dengan cara dipukuli botol
perutnya, disamping itu juga ada yang disuluti rokok perutnya, tetapi
perut KH. Mohammad Bahruddin tidak sampai disuluti rokok. Pada waktu itu
seakan-akan beliau merasa sudah hampir mati. Dan sebagian lagi ada yang
di pukuli, di banting, sampai berdarah-darah mulutnya. Akhirnya pada
waktu sudah setengah mati karena dihajar, beliau dan teman-temannya
diborgol dan didudukan untuk dimintai maaf, begini minta maafnya “saya
minta maaf”, kemudian beliau sangat marah, dan dalam hatinya beliau
bergumam “اناللهواناليهراجعون” “Cakra kurang ajar, awas koen onok jobo limpe, payu koen”.
Kemudian besok paginya
beliau dan teman-temannya, dipindah ketahanan kantor polisi, selama 5
hari disana, dan suatu ketika pada waktu antri makan ditahanan, ada
salah satu teman beliau yang kurang tertib, sampai-sampai terjadi
dorong-dorongan, melihat kejadian itu Belanda langsung bertindak, untuk
menghajar orang tersebut dengan menggunakan gagang tembak sekuat-kuatnya
“Pruaaaaaak” sampai kejang-kejang sekarat, hal itu mengingatkan kita
kepada sabda nabi Muhammad Saw.:
حبالدنيارئيسالخطيئة (“Menyukai dunia itu jadi penyebab timbulnya kesalahan”).
Begitu juga firman Allah dalam al Qur an:
بسماللهالرحمنالرحيموالذينأمنوأشدحبالله “Orang yang beriman kepada allah itu sangat besar sekali cintanya kepada Allah” (Q.S. al Baqarah: 164).
Itu merupakan perintah
Allah, semoga kita semua selamat baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Dan setiap orang pasti menyukai harta/dunia, karena mau membangun
masjid, menyekolahkan anak, membangun pondok dan madrasah semua dengan
harta. Hanya saja, senang terhadap dunia menurut KH. Mohammad Bahruddin,
diibaratkan padi hanya setengah ebor, dan kalau senang kepada Allah diibaratkan padi setengah ebor lebih. Dari itu marilah kita meningkatkatkan rasa senang kita kepada Allah agar kita memperoleh ridlo-Nya, amin…amin…amin yarobbal ‘alamin.
KH. Mohammad Bahruddin pada
waktu dipenjara di Mojokerto tidak bisa menjalankan sholat, setiap kali
beliau mendengar suara adzan atau suara kenthongan pertanda
waktu sholat, beliau tengkurap, sambil menangis, hal itu dilakukan biar
tidak diketahui teman-temannya. Jatah makan beliau di penjara sehari
semalam hanya dua kali, dengan ukuran satu telapak tangan, itupun tidak
penuh, persis seperti makanannya kucing. Dan sewaktu dihajar Belanda dan
Cakara di Pabrik Sentanan, beliau banyak membaca sholawat, karena
sholawat, menurut KH. Mohammad Bahruddin sangat ampuh. Sholawat tersebut
dibaca dalam hatinya, (kalau digambarkan seperti air mendidih).
Sewaktu ada rolling
atau pengusutan, kemudian beliau mengajak teman-temannya untuk
mengambil air wudlu, dengan harapan Allah berkenan mengeluarkan dari
penjara. Sabagian teman beliau ada yang mau dan sebagian tidak, kemudian
yang mau beliau ajak wudlu bisa keluar dari penjara, dan yang tidak mau
diajak mengambil air wudlu tidak bisa keluar. Melihat beliau bisa
keluar, teman-teman beliau menangis dengan sangat. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam al Qur an:
اناللهيحبالتوبينويحبالمتطهرين
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang suci” (Q.S. al Baqarah : 229). Pada waktu beliau keluar dari penjara terasa tidak menginjak bumi karena sangat gembiranya.
Pada waktu KH. Mohammad
Bahruddin mengahadap Belanda, beliau selalu memperbanyak membaca
sholawat, (kalau digambarkan seperti air yang mendidih). Karena beliau
merasa memperoleh borokhah dari bacaan sholawat Nabi Muhammad Saw,
terbukti dalam hati beliau tidak ada rasa takut sama sekali, tetapi
sebelum membaca sholawat hati beliau terasa susah yang amat sangat, yang
tidak dapat diukur.
D. Uswah KH. Mohammad Bahruddin
Setelah keluar dari penjara
pada waktu itu, beliau masih berada di Pondoknya Kyai Hasyim,
Banaran-Kertosono-Nganjuk. Kemudian beliau sowan ke orang tuanya,
setelah selasai sowan, beliau mohon diri untuk kembali lagi ke Pondok.
Tetapi ayahnya meminta agar menunda keberangkatannya selama 4 hari lagi,
hati beliau, bergejolak antara mengikuti perintah orang tua atau tidak,
akhirnya beliau putuskan untuk menguikuti perintah ayahnya. Karena
beliau ingat firman Allah dalam al Qur an:
واعبداللهولاتشركبهشيئاوبالوالديناحسانابسماللهالرحمنالرحيم
“Kita semua diperintahkan menyembah kepada allah dan dilarang menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan allah memerintahkan kepada kita semua agar berbuat baik kepada kedua orang tua sekalian” (QS. an Nisa’ : 35).
Menurut KH. Mohammad
Bahruddin taat kepada kedua orang tua itu merupakan sebuah keharusan dan
jangan sampai kita menyakiti hati keduanya. Sehingga beliau tidak jadi
berangkat ke Pondok. Karena, kok seumpama beliau jadi berangkat ke pondok, maka mulut dan hati beliau dihukumi terkena najis mugholadhoh yaitu najisnya anjing dan babi, pemahaman tersebut didasarkan pada kitab Ta’limul Muta’alim,
(أنيخترجعنالاخلاقالذميمةفانهاكلبمعنوية(تعليمالمتعلم
Kita semua diperintah untuk
senantiasa menjaga akhlak atau budi pekerti yang sesuai dengan syara’
yakni dengan syari’at. Karena akhlak yang tidak sesuai dengan syara’,
itu termasuk anjing yang bersemayam di dalam dada, seumpama dilepas
anjing tersebut, maka sangatlah liar. Dan beliau ingat mulai sejak kecil
sampai besar, itu tidak pernah menyakiti hati kedua orang tuanya.
Seingat beliau, pernah melanggar dua kali, yang mana beliau hampir tidak
kuat untuk menahan larangan orang tuanya. Salah satunya, pada waktu
agresi tahun 1945 M, beliau mau ikut menyerbu Belanda ke Surabaya, dan
sudah daftar, tetapi ibunya tidak meridloinya dan menangis. Kemudian
beliau ingat perang besar membela agama Islam itu hukumnya fardlu kifayah,
yaitu kalau sudah ada yang berangkat, berarti sudah gugur kewajibannya.
Dan pada waktu itu sudah ada yang berangkat yaitu kakaknya beliau yang
bernama Mustajib. Kang Mustajib ini ikut menyerbu di dusun Damargi
sekitar daerah Tebel-Buduran.
KH. Mohammad Bahruddin
menikah dengan ibu Safurotun, tanpa peningset, karena beliau tidak
diberi peningset oleh orang tuannya dan pernikahan beliau merupakan
kehendak orang tua sesama orang tua.
KH. Mohammad Bahruddin mengabdi dan tholabul ilmi
kepada orang tuanya di Ngoro ± 7 tahun. Kemudian selama 4 tahun beliau
di uji tidak boleh makan nasi. Hal itu Sesuai dengan keterangan dalam
kitab Ikhya’ Ulumuddin (Jld. 3. Hal. 83) yang menjelaskan tentang
tirakat tidak makan nasi. Kemudian beliau diuji lagi pada waktu menjadi
penganten, yaitu dilarang tidur di rumah, semalam suntup, selama 4
tahun. Beliau pernah tidur di rumah semalam suntup ± 6 hari, pada waktu
di Juwet, hanya saja pada waktu di Juwet bertepatan Mbah Nyai Safurotun
bendero abang (halangan, red), berarti tirakat beliau terus-terusan. Dan
tahun sekarang ini menurut beliau berjalan cepat sekali, seperti blarak kobong, kratak-kratak isuk kratak-kratak.
Tunduk kepada orang tua atau
kepada orang lain, semuanya itu harus didasari dengan ilmu, apabila
perintah dan larangan syari’at tersebut, sesuai dengan syari’at boleh
kita ikuti, namun ketika tidak sesuai, tidak usah kita ikuti. Hal itu
sesuai dengan keterangan dalam kitab Ta’limul Muta’alim:
(لاطعةللمخلوقفىمعصيةالخالق(تعلمالمتعليم
“Tidak ada berbakti kepada makhluk didalam maksiat kepada allah. Jadi jelas apa yang menjadi larangan allah tidak perlu di ikuti” (Ta’limu al Muta’alim).
KH. Mohammad Bahruddin
belajar ilmu thoriqoh di pondok Kyai Imam As’ari
Ngoro-Mojosari-Mojokerto selama ± 20 hari, kemudian beliau dinikahkan
dengan putri Kyai Imam As’ari yang bernama Siti Safurotun pada tahun
1950 M tersebut. Waktu itu beliau masih berumur 24 tahun. Kemudian tahun
1953 beliau dikaruniai putra yang kemudian diberi nama Mohammad Sholeh.
Selain itu, beliau juga mendalami ilmu thoriqoh ke ayahnya sendiri
yaitu Kyai Kalam di Juwet-Porong-Sidoarjo.
Pada waktu Kyai Sholeh masih
berumur satu tahun, beliau (Kyai Bahruddin) tinggal di Pondok Almukarom
Kyai Munawir Tegalarum-Kertosono-Nganjuk, perlu untuk ngaos
Thoriqoh dan lain sebagainya. Pertama, beliau ngaos 40 hari, setelah
selesai beliau mohon pamit untuk pulang, karena sudah sangat rindu
kepada istrinya, tetapi kyai Munawir tidak memperkenankannya, walaupun
hanya dua hari, justru kyai Munawir menganjurkan agar beliau munggah
ngaos lagi 60 hari, seketika itu hati beliau terasa poyang-payingan
sekali, ibaratnya kok seumpama dicancangi cagak pasti lepas, berhubung
dicancang ilmu akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa, kemudian hati beliau
ingat kalau istiqomah perkataannya guru itu wajib yaitu fardlu ‘ain.
Menurut beliau kok seumpama jadi pamit dengan lisan dan hati, maka
beliau hukumi terkena najis mugholadoh yaitu najisnya anjing. Pesan
beliau hati kita semua jangan sampai dihinggapi kata-kata “perkoro guru golek maneh”, ibaratnya nyandung nyampar, kata-kata tersebut menunjukkan kalau su’ul khotimah.
Guru Mursyid menurut KH.
Bahruddin, harus mempunyai ijazah izin dan ijazah mursyid. Izin itu dari
guru dan ijazah itu tanda tangan guru, sesuai dengan sabda nabi
Muhammad SAW.
لكلشيئعالم. كلامامامصالح
“Semua perkara itu ada tanda-tandanya (Tanqikhu al qoul, Hal. 25).
Dan gonyeh (meremehkan guru), itu menunjukkan kalau su’ul khotimah.
Tanda-tandanya orang beriman
yaitu menjalankan sholat, karena bagi kita tidak tahu didalamnya hati.
Tahu kita kalau orang beriman ya menjalankan sholat.
Pada waktu beliau (red. Ngaos Thoriqoh), di Pondoknya Almukarom Kyai Munawir Tegalarum- Nganjuk, selama ½ tahun dengan cara nerus yaitu naik-turun-naik-turun (istilah
di Thoriqoh), sampai selesai. Kemudian beliau mendapatkan ijazah
mursyid tepatnya pada tahun 1955. Setelah itu, beliau diperintahkan
untuk pulang ke orang tua Juwet-Porong dan orang tua
Ngoro-Mojosari-Mojokerto.
Ijazah mursyid KH. Mohammad
Bahruddin dari dua guru sekaligus yaitu Kyai Munawir
Tegalarum-Kertosono-Nganjuk dan Bapak Kyai As’ary
Ngoro-Mojosari-Mojokerto.
F. Proses Pencarian Tempat dan Kondisi Masyrakat sebelum ada Pondok Pesantren
KH. Mohammad Bahruddin di Pondok Ngoro ± 7 tahun, 4 tahun awalnya, sampai kemudian 7 tahun. Selama di sana beliau bertugas ngrekso
jam sholat, kentong, dan adzan. Kecuali kalau ‘ashar. Selain itu,
beliau juga yang memelihara masjid, kamar mandi dan lain-lainnya.
Kemudian almarhum Bapak Kyai Imam As’ary memerintahkan beliau agar
mencari tempat, ke Dusun Pucang, tapi gagal, kemudian mencari tempat
lagi ke Carat dengan ditemani tiga orang yaitu kyai Ahmad Na’in, pak
Qozin, dan pak Sapari, mereka berasal dari Dusun
Purworejo-Mojosari-Mojokerto.
Pada waktu ke Carat beliau
dapat tanah miliknya Pak Bawi atau Mbok Runti Mojosari-Mojokerto. Pada
waktu mengukur tanah, beliau ditemani oleh Pak Swaten. Pada saat itu,
beliau berkata, begini “kidul niku kok dipun tempati tepak, keranten niku roto lan wiyar”. Kemudian pak Swaten jawab “nggih dipun dol puniko nggadahe pak Ardi cumake sampun dipun nawis 1100 rupiah niku, seng nawis pak San Carat, niku”, kemudian beliau tutup dengan harga Rp 1200,-, cuman pak Ardi masih minta sak tancepe langgar angkring
untuk jariyahnya, dan beliau menyetujuinya. Beliau mengarahkan tempat
di sebelah timur Pondok termasuk pojok kidul wetan. Pada waktu balik
buku di pendapanya pak Ji’ah, pak Ardi tanya kepada pak lurah “opo gak di dewekno bukune, buku jariyahku, bumi sak pancepi langgar angkring”, pak lurah Sanali menjawab “mboten ngangge, mung sak monten mawon, ketanggungan”.
KH. Mohammad Bahruddin
berani membeli dengan harga lebih, karena menurut predeksinya, beliau
dapat mendirikan masjid yang pertama. Kalau itu terwujud maka, ajaran
Thoriqoh Naqsabandiyah Mujadiyah Kholidiyah dapat terjaga dengan baik,
itu pertama. Kemudian yang Kedua, ajaran syari’atpun juga demikian,
karena kalau bukan KH. Mohammad Bahruddin sendiri yang mendirikan,
beliau tidak akan berani menutup pintu masjid, setelah sholat jum’at,
amalan-amalan dan wirid-wiridan. Karena merasa tidak ikut mendirikannya.
Tetapi Karena beliau sendiri yang mendirikan, sehingga beliau berani
mengunci pintu masjid, untuk melaksanakan Tawajuhan.
Kemudian setelah tanah
terbeli, KH. Mohammad Bahruddin mendirikan Langgar dan Pondok pada waktu
tahun 1955, secara bersamaan. Keduanya terbuat dari bambu atau bongkotan,
dimana bahannya langgar diambil dari Ngoro, dan bahannya pondok diambil
dari Juwet, pada waktu pendirian Langgar-Pondok, beliau minta bantuaan
tenaga dari masyarakat sekitar (soyo). Tetapi ternyata pada
pelaksanaannya hanya sedikit yang datang, diantaranya pak Jama’i (H. Dul
Ghoni), dan pak Ardi, sedangkan pak Jasim (red. Tetangga), aja tidak
datang. Sedangkan yang membantu dari Juwet-Porong adalah Kang Mustajib,
adik Asro, adik Slamet, pak Waras, pak Lim, dan kang Tholib. Dan yang
dari Ngoro adalah Sarmadan, Ngetrep, Ahamad Jazuli, Sedati, pak Maikah,
Ngetrep, dan pak Maksum, Sudimoro. Adapun konsumsinya tenaga yang dari
Ngoro, dikirim dari pondok Ngoro demikian pula tenaga dari Juwet.
Pada waktu KH. Mohammad
Bahruddin masuk Desa Carat, di sana hampir semua rumah memelihara
anjing. Ketika beliau melihat keadaan yang seperti itu, beliau tidak
langsung melarangnya, akan tetapi beliau memberikan pelajaran bagimana
cara mensucikan najis anjing tersebut. Kemudian pada waktu Gestapu
anjing tersebut habis total. Beliau ketika mau mengerjakan sholat selalu
berpindah terkadang di ke Gempol satu kali atau ke Ngoro.
Alhamdulillah Pembangunan
mushalla Pondok selesai pada tahun 1955 M. Bertepatan bulan Tasyrik.
Kemudian beliau diperintahkan (red. Kyai Kalam), untuk berangkat ke
Carat sendirian, ada temannya yaitu Malaikat.
Kemudian Kyai Kalam
memerintahkan adik KH. Mohammad Bahruddin (Asro) untuk menemani beliau
di waktu malam hari dan itu hanya berlangsung selama 5 hari, karena Asro
tidak kerasan. Mengetahui adiknya tidak kerasan, beliau menyuruhnya
pulang, waktu sampai di rumah ayahnya bertanya kepada Asro “kon kok yaene kok wis muleh?, sopo rewange kakangmu Bahrudin ?, sopo?”. Kemudian Asro menjawab “mboten wonten rencangipun” kemudian Kyai Kalam menangis, dan langsung berdo’a “Ya Allah mugio Allah paring rencang dateng yugo kulo Mohammad Bahrudin”, dan bersamaan dengan itu Kyai Kalam tidak bisa tidur semalaman, karena memikirkan KH. Mohammad Bahruddin.
Dan perkiraan Asro sampai di rumah Juwet, ± ½ jam, orang tuanya pak Jasim (Mbok Royah), membangunkan pak Jazim, begini “Sim-Sim tangiho, wong lor iku, gak nok abane, antarane kok onok ewange, yo onok abane, ewangono, poo Sim, kono, Sim, abane gak onok ewange”.
Pak Jasim pun mau datang, untuk menemani KH. Mohammad Bahruddin. Beliau
bangga sekali, karena ada yang menemani, dan kebanggaan beliau kalau di
ibaratkan seperti orang menemukan emas sebesar gunung kecil, dan itu
merupakan do’a orang tua, yang langsung dikabulkan oleh Allah, sehingga
do’a restu orang tua, tetap menjadi harapan kita semua. Hal itu, sesuai
dengan sabda Nabi Muhammad Saw dalam kitab Kasyifatu as Sajaa,
وفىالحديثلايرثقضاءالادعاءولايزيدفلاعمرالاالبر
“Tidak ada yang bisa menolak qodlo (ketentuan allah) kecuali do’a, dan tidak yang menambah umur kecuali kebaikan”.
Oleh karena itu kita semua jangan bosan-bosan untuk meminta (berdo’a) kepada Allah Swt.
G. Kiprah, Fitnah, Tantangan, dan solusi KH. Mohammad Bahruddin
KH. Mohammad Bahruddin
mengalami sendirian di Carat kurang lebih 2 ½ tahun. Pada waktu
sendirian, beliau mengumpulkan orang untuk diajak menjalankan Jum’atan,
saat itu hanya ada 12 orang yang mau mengikuti ajakan beliau, yaitu
beliau sendiri (KH. Mohammad Bahruddin), pak Temo, pak Moden, pak Dol,
pak Jasim, pak H. Abd. Ghoni, pak Tun, pak Padri, pak Ni, pak Tulus atau
pak Salam, kang Maksum dan Pak Sarmun. Sedangkan dari pemuda ada 7
orang yaitu Sutejo, Danu, Poniman, Sabar, Mulyo, Amari dan kang Jaiz.
Pada waktu itu di Carat
masih belum ada perkumpulan Jum’atan, sehingga beliau kalau mau
menajalankan Jum’atan tidak tetap, kadang di Masjid Gempol satu kali
tempo ke Ngoro, dan itu dilakukan dengan jalan kaki.
Pada waktu sendirian di
Carat, satu kali tempo, beliau kangen kepada istri, kemudian setelah
maghrib belaiu mengajak Amari ke Ngoro, dan di sana tidak lama ± ¼ jam,
kemudian kembali lagi ke Carat untuk mengimami sholat isya’.
KH. Mohammad Bahruddin membuat kamar mandi, yang pertama hanya tempatnya air saja, dengan atap damen
(daun padi), dan cagaknya dari pohon banten, dan pada waktu itu orang
yang akrab dengan belaiu ada 6 orang yaitu pak Jasim, pak Tun, pak
Tulus, pak Salam, pak Ni, dan pak H. Abd. Ghoni.
Kemudian pemuda yang dekat dengan beliau ada 6 pemuda, yaitu Danu, Sutekso, Buadi, Sabar, Kaban, dan Amari.
Kemudian selang beberapa
waktu, beliau bisa membuat rumah, hanya saja rumahnya masih sederhana
dengan menggunakan cagak bongkotan dan atap alang-alang gedek.
Dalam menapaki perjuangan
beliau, tidak terlepas dari beberapa fitnah. Pertama, beliau dituduh
zina. Kedua, dituduh korupsi. Ketiga, dituduh bersekongkol dengan
pencuri. Itu semua merupakan fitnah. Dan fitnah itu lebih kejam
hukumannya dibandingkan dengan pembunuhan, sesuai dengan firman Allah
yang berbunyi :
(الفتنةأشدمنالقتل(۲:۱۹۰
Orang tua KH. Mohammad
Bahruddin Ngoro, merupakan ahli tirakat (tidak makan nasi) itu selama
bertahun-tahun, mulai waktu di Pondok sampai mempunyai istri dan dua
anak, sama seperti KH. Mohammad Baruddin, bahkan mungkin lebih berat KH.
Mohammad Bahruddin, karena beliau tidak bisa bertemu dengan istri.
Kemudian kalau orang tua KH. Mohammad Bahruddin (Juwet-Porong) adalah
ahli ziarah kubur, mulai dari Sunan Ampel, Sunan Giri, Batu ampar, dan
Bungkul, itu dilakukan paling sedikit 8 hari sekali, dan di sana selama 8
hari. KH. Mohammad Bahruddin juga sama, tetapi tidak 8 hari melainkan 8
menit.
Dan keterangan beliau bisa di cross check sesuai dengan tempat dan kepada orang yang selevel beliau.
KH. Bahruddin, waktu membuat
batu bata ditemani oleh pak Jasim. KH. Bahuddin sangat semangat sekali
sampai-sampai meninggalkan sholat isyrok, selama kurang lebih
lima kali sholat isyrok, karena beliau ingin pembangunan segera selesai,
niat beliau pada waktu itu adalah “kulo niat nyitak boto kangge tempat ngaji ferdlu kerono Alloh”. Kemudian beliau sadar dan berpikir la iyo ngaji iku perlune opo ? Kan cek faham antara sing wajib, sunnah, boleh, makruh, haram lan sing bathil (tidak baik), aku roh sholat isrok, tapi ndak tak lakoni. Berarti aku iki mbelani kurungan yakni lus-lus kurungan manuke (isyrok) iku ucul,
mulai sejak itu KH. Mohammad Bahruddin tidak lagi meninggalkan sholat
isyrok, karena menurut beliau ketika berani meningal sholat isyrok maka
akan merambat, ke sholat-sholat sunnat lainnya. Maka dari itu oleh
beliau dihukumi kecopetan.
Beliau ingat firman Allah dalam al Qur an:
وماالحياةالدنياالامتاعالغرور
“Tidak ada kehidupan di alam dunia kecuali hanya kenikmatan yang semu” (QS. Al Imron, Hal. 184).
Pada waktu mau menaikkan kayu dan balungane
Pondok, beliau minta bantuan tenaga pada pak Gin, tapi nahas pak Gin
kena hukuman jaga tiga malam berturut-berturut, dari perangkat desa,
karena tidak ikut bersih desa, tetapi justru ikut membantu KH. Mohammad
Bahruddin.
KH. Mohammad Bahruddin
mempunyai seorang murid syari’at namanya Amari putranya Mbok Pah Carat,
suatu ketika Amari, minta izin untuk ikut sekolah ke Gempol, tapi nahas
karena diketahui Kamituwo (Wak Asro), kemudian Amari dihadang dan dibawa
kependapa kamituwo. Dan disana Amari dimarahi habisan-habisan, akhirnya
hal itu oleh beliau dilaporkan kepada ketua ranting NU (Maksum),
akhirnya selesai dan Amari bisa sekolah lagi dengan aman.
Suatu ketika ada penghinaan
kepada KH. Bahruddin, pada waktu beliau pulang dari rumahnya pak H. Abd.
Ghoni, ada orang disawah, kemudian ketika melihat beliau orang itu
langsung mengucap begini “aku durung sembahyang ‘asar aku!!”. Kemudian penghinaan yang ditujukan kepada ibunya Kyai Sholeh, dengan cara bercakap-cakap dengan temannya begini “koen ojok gandangan ae onok wong putihan liwat opo gak isin koen”.
Dan pada waktu beliau mengawali ke pemakaman, kemudian ada orang yang
berucap dengan lantang “ya….!!”. Hal itu dilakukan dengan sengaja, tapi
semuanya itu beliau hadapi dengan santai saja. Kemudian ada sebagian
orang yang bilang sama cucunya begini “koen nek nakal-nakal, nek laki tak lakekno oleh santri kapok koen !!” (red. kamu kalau nikah tak nikahkan dengan santri), seakan-akan image yang terbangun santri itu jelek, padahal modalnya santri itu banyak, apabila dibandingkan dengan dengan biaya sekolah formal.
Selanjutnya dalam
perkembangannya, orang-orang Carat-Raos, sudah banyak yang insyaf,
kemungkinan hanya 20 % yang belum, hasil penyelidikan beliau apa
penyebab orang-orang sama insyaf?. Hasilnya, adalah karena pertama, Beliau tidak menghina orang yang tidak sholat. Kedua, tidak menghina anjing. Ketiga, sebab sembur suwuk. Keempat, mulai mau belajar kepada anaknya. Kelima, setiap ada kematian mau ta’ziyah dan mau memberikan kesaksian dan memaafkan. Keenam, anaknya yang tholabul ilmi diajari tidak boleh berani kepada orang tua. Ketujuh, minta hujan lalu terkabulkan.
Kemudian dalam perkembangannya beliau banyak menerima kiriman bantuan, antara lain: Pertama,
beliau dapat kiriman batu bata, tapi tidak jelas siapa yang mengirim
batu bata tersebut. Kejadian itu berawal dari kegelisahan beliau karena
melihat pembangunan yang belum selesai, kemudian tiba-tiba datang dua
cikar dengan membawa batu bata yang bagus-bagus. Dan batu bata tersebut
oleh KH. Mohammad Bahruddin digunakan untuk membuat kamar mandi putri.
Saat beliau mulai mengusut dari mana, batu bata tersebut, beliau
menanyakan hal itu kepada pak Aminah “sampean sing inggal niki kirim banon dateng panggenan kulo”. Kemudian Mbok Aminah tidak menjawab, malah justru bingung dan tingak-tinguk. Mbok Aminah ini yang biasanya memberi KH. Mohammad Bahruddin dua bencar padi. Kedua, beliau dapat bantuan langgar angkring cagak empat,
oleh Beliau bantuan tersebut dijadikan langgar putri. Bersamaan dengan
adanya gestapu PKI tahun 1966 M. Beliau bisa membuat serambi Masjid,
tetapi kapanitiaan masih belum terbentuk, karena sangat minim dan
lemahnya umat Islam saat itu. Beliau menyelesaikan pembangunan tanpa
menggantungkan pada bantuan Desa, tetapi beliau megantungkan semuanya
hanya kepada Allah, لاحولولاقوةالاباللهالعليالعظيمhanya
buat orang ahlusunnah waljama’ah termasuk tiang ahli Thoriqah
Naqsabandiyah. Kemudian pada waktu mau membuat pondasi bangunan, setelah
Jum’atan, beliau mengumumkan kepada jam’ah, dengan harapan mereka mau
membantu. Tetapi ternyata orang-orang dusun yang ikut membantu
pembangunan tersebut hanya empat orang yaitu, kang Teporejo, Bi’I,
Carat, pak Tamar, Ngabei, Raos. Dan dapat bantuan dari dusun sebesar Rp
450,- uang tersebut digunakan untuk membeli batu kapur dan untuk
membayar tukang, bantuan itu diantarkan langsung oleh pak Slawir
(Pamong). Selain itu Beliau sediri juga ikut nukang, karena menurut
pertimbangan beliau yang membantu hanya sedikit.
Kemudian dalam
perkembangannya orang-orang Carat-Raos, mulai mau diajak gotong-royong
untuk menyelesaikan tempat ibadah. Seiring dengan hal itu, beliau
berkeinginan untuk mendirikan Masjid, dalam hati, beliau berkata “pokok ono jagak papat dawane sangang meter punjul, insya Alloh bakal wujud niku Masjid”. Selang bebarapa waktu kemudian, beliau dapat aqiqah kambing dari H. Ibrahim, dan beliau pikir-pikir “la iyo wedos iki, ketimbang dipangan aggur-angguran, alok digawe nglumpukno umat islam Carat lan Raos, terus diajak moco sholawat nariyah yo iku akhehe 4444, lha yo enak, terus diajak dungo nang Alloh supoyo Masjid cepet selesai”. Dan rencana tersebut berjalan sesuai rencana yang diinginkan, yaitu membaca sholawat nariyah.
Kemudian beliau dapat
bantuan pohon Kepuh yang dijadikan tapal batas Dusun Kentongan, yang
rencananya pohon tersebut digunakan untuk cagak (4) dan sisanya dipakai
untuk membakar batu bata.
Pohon Kepuh tersebut
merupakan permintaan KH. Mohammad Bahruddin kepada pak Sanalim (Mantri
alas), dan diperbolehkan, kemudian pak Sanalim menyerahkan (pasrah)
kepada beliau terkait dengan kejadian-kejadian yang mungkin terjadi (wonten demite) setelah
pemotongan pohon itu nanti yang bisa mengganggu masyarakat. Beliau
sanggup untuk mengatasinya, dan sebaliknya beliau juga menyerahkan
(pasrah), kepada pak Sanalim, soal gangguan orang-orang sekitar, dan pak
Sanalim sanggup, sehingga beliau dibuatkan surat resmi. Dan sebelum
pohon tersebut di tumbangkan terlebih dahulu beliau bacakan surat yasin
41x bersama dengan umat Islam Carat-Raos dengan perantara air, kemudian
air tersebut di siramkan kepohon Kepuh tersebut.
Kemudian setelah sholat
Jum’at beliau mengumumkan kepada jama’ah terkait dengan pemotongan pohon
tersebut, dan yang memotong adalah umat Islam Carat-Raos, selama dua
hari penuh. Kemudian menurut riwayat pohon Kepuh tersebut, yang di
riwayatkan oleh pak Saniah sebagi sesepuhnya orang Carat, itu sudah 9
orang yang meninggal sebab memotong pohon tersebut, dan anehnya pohon
tersebut ketika dipotong dapat separuh pohon tersebut bisa pulih seperti
semula, dan beliau menyaksikannya sendiri.
Hasil iuran batu kapur
orang-orang dusun, mulai terkumpul sebanyak 1 tong, itu digunakan beliau
untuk melanjutkan pembangunan tembok Masjid, dimana sebelumnya sudah
mempunyai batu bata banyak yang sebagian untuk pembangunan dan sebagian
lagi dijual untuk kebutuhan yang lain. Pada waktu itu kepanitiaan sudah
terbentuk, sehingga beban beliau semakin ringan. dan pertama kali yang
dibangun oleh beliau adalah serambi, karena menurut pertimbangan beliau,
kalau masjid yang didahulukan, dikhawatirkan nanti orang-orang
berbicara urusan duniawi di situ.
Karena menurut sabda nabi Muhammad saw dalam kitab Tanqih al Qoul:
فىالمسجدافضىاللهاعمالهأربعينسنة(تنقحالقول, ص: ۲۱) منتكلمبكلامالدنيا
Artinya: “Barang siapa berbicara urusan dunia didalam masjid, maka allah menghilangkan amal kebaikannya selama 40 tahun” (Tanqih al Qoul, Hal, 21).
Pada waktu penggalangan dana
jama’ah thoriqoh yang banyak memberikan dukungan dana dibandingkan
dengan yang bukan jama’ah thoriqoh, bahkan ada salah seorang jama’ah
(namanya dirahasiakan), yang ‘amat serakah’ dalam urusan membantu
pembangunan tempat ibadah, maunya di kuasai sendiri. Sedemikian itu
keikhlasan orang-orang ahli thoriqoh naqsabandiyah yang mendapat
pertolongan dari Allah SWT.
Kelebihan-kelebihan yang
dimiliki KH. Mohammad Bahruddin pada waktu berjuang antara lain: Pada
waktu musim kemarau panjang beliau mengajak orang-orang untuk meminta
kepada Allah supaya diturunkan hujan, akan tetapi suara orang-orang yang
tidak suka kepada beliau luar biasa, dengan kata-kata penghinaan,
begini “awas onok banjir bandang sebab onok wong jaluk udan”
dan kata-kata itu hampir satu kampung. Kemudian ternyata setelah sholat
Isya’ hujan turun dengan deras, namun tidak sampai terjadi banjir.
Sehingga, akhirnya suara orang-orang berbalik, begini “ngene iki, mungguho ngekei pak Kyai Bahruddin, rong pencar yo ndak rugi“.
Akan tetapi, itu hanya sebatas ucapan, tidak ada bukti. Namun, beliau
tidak begitu mengharapkan pemberian mereka, yang terpenting bagi beliau,
adalah tidak dihina, itu sudah cukup.
KH. Mohammad Bahruddin
menikah pada tahun 1950 waktu berumur 24 tahun dan sampai tahun 1978 M
beliau di karuniai 12 putra. Pertama, Mohammad Sholeh, lahir tahun 1953
M; Kedua, Mohammad Ansor, lahir tahun 1956 M; Ketiga, Mohammad Mansyur,
lahir tahun 1958 M; Keempat, Gufron, lahir tahun 1961 M; Kelima, Siti
Mariam, lahir tahun 1963 M; Keenam, (meninggal); Ketujuh, Mohammad
Dhofir, lahir tahun 1967 M; Kedelapan, Mohammad Ridlwan, lahir tahun
1970 M; Kesembilan, Achmad fatah, lahir tahun 1972 M; Kesepuluh, Siti
Habibah, lahir tahun 1974 M; Kesebelas, Mohammad Misbah, lahir tahun1975
M, dan Keduabelas, Siti Munifah. Kemudian putra beliau yang meninggal
dunia berjumlah tiga, yaitu Mohammad Ansor, Siti Habibah, dan yang
keluron. Jadi sekarang putra-putri beliau berjumlah 9 orang.
Semoga riwayat KH. Mohammad
Baruddin tersebut yang baik bisa dijadikan tuntunan atau pedoman, dan
yang tidak baik tidak usah diikuti. Amin…amin…amin yarobbal ‘alamin.
0 Comments